Sejak sebulan yang lalu ia terus menerus mengejarku dengan tuntutan ini-itu. Siang dan malam hanya ia yang ada dipikiranku, memutar urat-urat syarafku hingga seolah isi kepalaku hanya dia dan dia saja.
Hingga sore ini, aku dan kawanku berhasil membuatnya bungkam.
Namun bulan depan, aku yakin ia akan kembali dan menuntut kembali. Huhh
Saya bukan anak raja, pun bukan anak ulama besar. Maka dari itu, saya memilih untuk menulis.
Friday 29 November 2013
Tuesday 26 November 2013
Apakah Benar Karena Diriku?
Sebelumnya aku tidak
menyadari bahwa pernah menyemangati seseorang hingga ia berhasil jadi orang
besar sekarang. Menurutku besar, karena ia sudah mampu membuatku berdecak kagum
karena perubahan derastis yang ia tunjukkan. Sangat jauh berbeda ketika pertama
mengenalnya dahulu. Dan aku merasa itu sangat hebat!
Ia berkata bahwa
karena akulah yang membuatnya demikian. Namun, aku merasa tidak pantas
diberikan kalimat seperti itu. Aku hanya bersyukur seorang temanku yang dahulu
sangat pemalu, kini bisa mengubur dalam-dalam sifat itu. Satu teladan bagiku,
dan akan kuikuti jejaknya walau dalam porsi yang berbeda.
Tuesday 19 November 2013
Aku ya Begini
Ahad hingga senin kembali. Tidak ada aktivitas yang terlewatkan. Aku senang beraktivitas, dengan banyak teman tentunya.
Memilih bergabung dalam salah satu organisasi di kampus membuatku banyak tahu. Dan itulah alasanku bergabung di dalamnya, agar aku bisa tahu apa yang belum kuketahui.
Seperti biasa, perpustakaan tempatku untuk meluapkan rasa rindu pada buku-buku. Hingga pukul 4 sore, apapun kulakukan di sini. Baca buku, browsing internet hingga memandang ke luar jendela di mana aku bisa melihat ombak yang tengah menari di laut. Disapu lembut oleh angin yang membuatku seketika mengantuk.
Setelah itu, kembali ke kediamanku yang nyaman. Dan kembali berkutat dengan segala tugas dari kampus. Ini membuatku semakin bersemangat. Aku membaca salah satu status temanku di Facebook tempo hari, "Diam sedetik, MATI!"
Itu mengapa aku tidak suka diam, kecuali untuk kegiatan khusus yang memerlukan diam.
Aku senang dengan diriku yang walau kadang tidak dihiraukan sama sekali. Tapi, mungkin aku masih bisa berguna bagi teman, keluarga dan orang-orang yang kusayangi :D
Memilih bergabung dalam salah satu organisasi di kampus membuatku banyak tahu. Dan itulah alasanku bergabung di dalamnya, agar aku bisa tahu apa yang belum kuketahui.
Seperti biasa, perpustakaan tempatku untuk meluapkan rasa rindu pada buku-buku. Hingga pukul 4 sore, apapun kulakukan di sini. Baca buku, browsing internet hingga memandang ke luar jendela di mana aku bisa melihat ombak yang tengah menari di laut. Disapu lembut oleh angin yang membuatku seketika mengantuk.
Setelah itu, kembali ke kediamanku yang nyaman. Dan kembali berkutat dengan segala tugas dari kampus. Ini membuatku semakin bersemangat. Aku membaca salah satu status temanku di Facebook tempo hari, "Diam sedetik, MATI!"
Itu mengapa aku tidak suka diam, kecuali untuk kegiatan khusus yang memerlukan diam.
Aku senang dengan diriku yang walau kadang tidak dihiraukan sama sekali. Tapi, mungkin aku masih bisa berguna bagi teman, keluarga dan orang-orang yang kusayangi :D
Monday 21 October 2013
Na, Sukses Itu Tidak Semudah Mengedipkan Mata
Bukan
sebuah penghalang jika sejak pukul 9 pagi tadi cuaca sangat panas. Berangkatlah
aku ke sebuah tempat dimana aku bisa mendaratkan tubuhku pada sebuah kursi yang
nyaman diduduki. Dan beribu tumpukan buku yang siap disantap oleh mataku. Tak lupa
aku membawa serta Rila---laptopku untuk nongkrong di sana. Sekadar berselancar ria di dunia maya dan
tentunya aku tidak boleh melupakan tujuan utamaku datang kemari. Mencari bahan
untuk Buletin Kampus.
Sebenarnya
aku orang yang tidak pedulian dengan apapun, namun semenjak bergelut dengan
beberapa aktivitas di kampus, aku malah ketagihan untuk mencoba kegiatan baru
lagi. Untuk itu, aku dan beberapa temanku yang tergabung dalam salah satu lembaga
di kampus membuat sebuah tim redaksi untuk menerbitkan majalah kampus sekali
setiap bulannya. Menurutku ini menantang. Dan sesuai dengan jiwaku yang memang
senang dengan tulisan. Namun, walau sebesar apapun minatku dalam hal menulis, pengetahuanku masih belumlah cukup, malah masih dibawah standar
menurutku.
Cita-citaku
banyak. Dan salah satunya adalah menjadi seorang penulis. Aku terinspirasi oleh
salah satu penulis yang namanya tersohor di negeri kita yakni Asma Nadia. Aku sudah
membaca beberapa karya beliau dan juga biografi singkatnya. Dari sana, aku
belajar bahwa untuk menjadi seperti dia tidaklah semudah mengedipkan mata (eh).
Butuh perjuangan dari nol hingga mencapai titik teratas dan menjadi sukses. Insya
Allah, setidaknya ada satu buku sebelum mati.
Saturday 20 July 2013
Ketika Sang Pujangga Bicara
Deru
angin kian menebar aroma air wudhu yang baru saja aku basuh di seluruh anggota
badanku dan suara adzan seakan menggoda hati ‘tuk melangkahkan kaki menuju ke
kediamanNya yang Agung. Aku memegang rok mukenahku dengan perlahan memasuki
mesjid, sedang hati masih diliputi rasa segan untuk menatap langit-langit
mesjid yang penuh dengan lampu. Hatiku terketuk, ada rasa cinta yang sedang
ingin bertamu di dalamnya. Kuikhlaskan ia masuk dan duduk dengan manisnya. Usai
sholat tahiyatul mesjid dilanjutkan sholat sunnat subuh, sejenak aku duduk
dalam sebait doa. Kini aku tengah membasahi lisanku dengan puji-pujian
untukNya, dengan segala kebesaran dan nikmat yang ia berikan padaku subuh ini,
yang membuatku tak habis pikir akan merasakan perasaan seindah ini.
Usai
sholat subuh, aku kembali ke asrama putri tempat aku melakukan segala
aktivitas. Kubuka kembali lembaran-lembaran putih yang aku ambil dari majalah
dinding sekolah. Di dalamnya bertuliskan kalimat-kalimat yang baku dan penuh
makna. “Duka adalah setitik noda, lalu
biarkan cinta membalutnya dengan indah. Aku merinduNya dengan segenap jiwa”. Itu
hanyalah sepenggal kalimat yang membuatku takjub pada orang yang menuliskan
kalimat ini. Bukan, aku lalai menjaga perasaan hingga terperosok ke dalam
jurang percintaan. Yah, aku mengalami sebuah fenomena dimana sebuah jiwa telah
tertancap anak panah asmara, dan aku sedang jatuh cinta padanya. Aku tak kuasa
menahan, menolak apalagi melupakan. Aku bertanya pada Alloh pada sepenggal
malam, sudikah kiranya Dia mengizinkan aku, hamba penuh dosa untuk bisa
merasakan cinta ini?
Fajar
gemerlapan. Lalu biasnya masuk ke celah fentilasi dan jendela kamarku. Aku
berangkat ke sekolah dengan perasaan was-was tak terkira karena semalam
bergelut dengan kekalutan dan dilema. Dia belum juga memberiku petunjuk.
Kemudian aku mencari-cari sang pujangga pujaan di seluruh sekolah. Aku ingin
mengembalikan seluruh karyanya yang telah kuambil tanpa seizin dia. Aku malu.
Aku merasa jadi pencuri. Alasan karena aku kagum mungkin tak dapat diampuni.
Namun, apapun yang ia katakan nanti akan kuterima, sekalipun ia mengataiku
dengan cercaan dan hinaan, aku siap. Karena, duka selalu dibalut dengan cinta.
Saat
jam istirahat, kembali aku mencari sosok sang pujangga. Ternyata ia sedang
duduk manis di kantin Pak Tejo sambil menyeruput segelas es. Kuberanikan diri
menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Kulihat raut wajahnya berubah heran.
Diletakkannya minuman itu ke meja dan merapikan seragamnya.
“Maafkan aku. Aku sering mencuri
karya-karyamu di mading sekolah. Aku kagum makanya aku ambil. Aku salah. Hukum
aku. aku siap. Ini aku kembalikan lagi.” Ujarku dengan nada suara bergetar
karena gugup.
Kuangkat
wajahku untuk memastikan reaksinya. Oh indahnya..ia tersenyum. Aku menunduk
kembali dan bermain denga pikiranku. “Ambillah. Kau bukan pencuri. Aku malah
senang jika ada yang kagum.” Jawabnya sopan.
“Ah?” aku terkejut mendengarnya.
“Ambillah. Tidak apa-apa kok. Maaf
yah kalau isinya jelek, hehe”
“Ah tidak sama sekali. Aku malah
suka. Suka sekali dengan puisi-puisimu.” Kataku masih gugup.
“Terima kasih” jawabnya.
Sejak
pertemuan itu aku jadi mengaguminya dua kali lipat. Perasaan cinta yang sempat
hinggap di hatiku kini berangsur hilang digantikan oleh jutaan kekaguman. Sang
pujangga itu tak pantas kucintai. Sang pujangga yang terkenal teguh imannya dan
seorang hafiz Al Quran itu tak pantas untuk gadis berlumur dosa sepertiku. Sang
pujangga yang itu, biarkan ia jadi motivasku untuk terus belajar. Hingga
setahun kemudian ia lulus dan tak aku ketahui lagi kabarnya. Sedih berkecamuk
walau aku tahu, ini adalah takdir yang Kuasa.
Suatu
subuh yang dingin, kala itu gerimis sedang bersenandung. Sesosok lelaki dengan
tegap berdiri di hadapanku sambil menenteng sajadah. “Sang Pujangga?”pekik
batinku terkejut. Mengapa ia bisa ada di sini? Selama 2 tahun tak pernah
mendengar kabarnya, ia datang lagi? Tanya terus mengaliri pikiranku. Aku
menunduk dan tak ingin menatap matanya. Kemudian ia mulai angkat bicara dengan
pelan dan sopan seperti biasa.
“Dik, selama ini aku belum tahu
namamu. Selama bersekolah di sini aku tak banyak tahu tentang dirimu. Tapi
entah kenapa sejak pertemuan di kantin itu, aku tergerak untuk menemuimu lagi.”
Katanya.
“Namaku Riana, Kak. Ada keperluan
apa kakak kembali kalau boleh tahu?”
“Sebelumnya aku ingin memperkenalkan
diri juga. Namaku Alif. Mungkin kamu sudah tahu sebelumnya. Jika kukatakan
maksudku, mohon kamu mengerti yah.” Ujarnya mengundang penasaran.
Aku mengangguk.
“Aku kembali karena ingin melamarmu.
Aku sudah mempunyai pekerjaan sambil kuliah. Aku ingin kita menikah setelah
kamu lulus nanti.” Ujarnya dengan tegas.
Aku mengangkat wajahku sambil
menatap lekat-lekat wajahnya dan mencerna kembali pernyataannya. Apa yang baru
saja kudengar seperti ribuan rinai hujan yang mengguyur tanah kering nan
tandus. Hatiku bergidik nyeri bercampur senang dan ribuan perasaan lainnya yang
tak dapat kulisankan.
“Mungkin aku sedang bermimpi kak?”
tanyaku polos.
“Tidak, dik. Ini nyata. Aku sedang
menyusun keberanian untuk melamarmu. Dan aku serius. Yah, walaupun kita
sebenarnya belum terlalu lama kenal. Tapi hatiku sangat teguh dan yakin untuk
melakukan ini.”
“Subhanalloh..” aku tertunduk sambil
meneteskan air mata bahagia. “Insya Alloh, aku siap menerima lamaran kakak.”
Lalu
kami meninggalkan mesjid setelah prosesi lamaran mendadak itu. Disaksikan oleh
kokohnya bangunan mesjid yang membisu dan gerimis yang bersenandung. Aku
berdiam diri di kamar asrama sambil terus memuji kebesaran Alloh.
“Semoga kelak kau akan jadi imamku,
Kak Alif.” Batinku.
2013, Ramadhan, dan Keajaiban
Tidak ada kata yang pantas
aku ucapkan selain mengucap syukur yang sebesar-besarnya kepada sang khalik,
Alloh Tuhan yang Maha segalanya. Yang dengan kebesarannya telah meniupkan jiwa
baru ke dalam hatiku yang penuh dengan bercak noda kehidupan. Yang dengan
keagungannya menambal celah-celah kecil di hatiku yang berpotensi membuat aku
berbuat dosa lagi. Aku manusia yang penuh dengan dosa, yang kusengaja maupun
tidak. Subhanalloh, dengan memberiku waktu hampir seminggu lamanya, aku telah
berhasil dibuatNya seolah menjadi manusia baru. Perasaan ini sulit kulisankan,
biarlah cerita yang tak sempat kusampaikan itu hanya Alloh yang tahu.
Hampir seminggu di
pengkaderan Darul Arqam Dasar benar-benar sebuah pengalaman spritual yang luar
biasa. Apalagi diadakan di bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahanNya.
Sungguh, aku terharu dan rasanya masih ingin berada dalam kegiatan itu. Namanya
pengkaderan, pasti adalah hal-hal yang sedikit tidak mengenakkan, aku rasa itu
wajar. Tapi dibalik semua itu, ada banyak hikmah yang dapat kupetik seperti
betapa nikmatnya berkeluh kesah pada Alloh di sepertiga malam saat sholat Lail,
mengenalNya lebih dekat dengan mengkaji ayat-ayat Al-Quran, makan tanpa
menyisakan sebutir nasi pun karena sepiring makanan adalah berkah, menuntut
ilmu dan belajar hal-hal baru tentang keagamaan, beradaptasi dengan
peserta-peserta baru, belajar mengemukakan pendapat di depan banyak orang,
belajar kultum, pentingnya sholat sunnah, adab makan yang benar, pentingnya
bekerja sama antar kelompok, belajar mempergunakan waktu yang terbatas dengan
sebaik-baiknya dan masih banyak hikmah lainnya yang tak pernah kudapat
sebelumnya. Dan ada satu kejadian mengejutkan yang tak ada pernah terhapus
dalam memoriku, yaitu saat salah seorang yang kami banggakan di kampus,
ayahanda kami yang sering memberikan wejangan meninggal dunia usai memberi
materi pada kami. Saat beliau selesai memaparkan materi, beliau duduk dan
mengeluh tidak enak badan. Yang aku curigakan, mengapa seperti ada raut tak
biasa yang kutangkap dari wajah seseorang yang tak enak badan, dalam hati aku
merasa ada hal yang aneh. Hingga beliau pun dipapah keluar dari forum.
Pikiranku terus tertuju pada beliau hingga tak fokus lagi mendengarkan
instruktur berbicara. Hingga beberapa menit kemudian datanglah seorang
instruktur lain yang membawa kabar duka bahwa beliau telah dipanggil oleh Yang
Kuasa. Kami yakin bahwa beliau meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Semoga
beliau mendapat tempat terindah di sana, Amin.
Ramadhan tahun ini bisa
kukatakan adalah Ramadhan paling indah selama 19 tahun aku hidup di dunia.
Mengetik tulisan ini pun aku sambil meneteskan air mata haru. Aku rindu suasana
Darul Arqam Dasar, para instruktur, panitia dan teman-teman seperjuanganku.
Yang aku harapkan, kami bisa menjadi kupu-kupu yang baru lepas dari kepompong
seperti yang dikatakan oleh Master of Training, kanda Immawan Firman Mustafa. Terima
kasih ya Alloh, aku bisa engkau pilih jadi manusia yang bisa merasakan
keindahan dalam sepekan ini. Fastabiqul khaerat.
Monday 10 June 2013
Rintik Tangis
Berawal dari keisenganku saat
perjalanan pulang dari kampung halaman dimana ayahku dilahirkan. Saat itu aku
masih berumur 7 tahun, masih berwujud gadis kecil polos yang belum banyak tahu
apapun. Dalam perjalanan yang gembira itu, aku duduk di pinggir, sebelah kiri
kaca mobil. Kanan dan kiri hanyalah hutan belantara setelah kami melewati
persawahan yang luas. Aku melambai-lambaikan tangan pada pepohonan di luar kaca
sambil berseru “hai hai hai”. Kakak menegurku karena ia rasa itu mengganggunya,
namun aku tetap melanjutkannya sambil membuka kaca mobil dengan lebar. Aku
mengeluarkan kepalaku sedikit agar bisa melihat ke luar dengan leluasa. Karena
ibu tengah tertidur, sedangkan Ayah tetap konsentrasi dengan menyetir mobil,
sementara kedua kakakku asyik bermain dengan handphone mereka masing-masing,
akhirnya mereka tidak mengetahui bahwa aku jatuh dan terlindas mobil ayahku
sendiri. Mereka baru menyadari setelah kakak perempuanku menjerit histeris karena melihatku sudah tidak ada di
sampingnya. Seluruh keluargaku turun setelah ayah menghentikan laju
kendaraannya dan menyaksikan aku sudah terbaring menggenaskan di tanah dengan
berlumuran darah.
***
“kakak..kakak..main ayo maiiin”
jeritku saat kakak perempuanku sedang sibuk sendiri dengan gadget barunya.
Tangisku kemudian pecah karena tak dipedulikan olehnya. Karena tangisku itu,
kakak pun marah dan mencubitku dengan kasar. Ayah yang saat itu tengah sibuk
mengutak atik laptopnya pun merasa terganggu dan menghampiri kami. Kakak
dihukum sedangkan aku digendong ayah. Melihat itu, kakak menjadi semakin kesal
padaku. Usia kakak 12 tahun sedangkan aku 7 tahun, terpaut jauh 5 tahun. Setiap
hari aku diantar ke sekolah oleh kakak laki-lakiku yang berusia 16 tahun. Ia
sangat baik padaku walaupun aku sedang menangis, ia tidak pernah merasa
terganggu. Suatu hari ketika aku ditinggal berdua oleh kakak perempuanku, aku
dikurung di kamar mandi seharian hingga aku lemas kedinginan dan kelaparan.
Entah apa salahku, mungkin ia tidak ingin terganggu akan kehadiranku. Karena perbuatannya,
aku sampai dirawat di rumah sakit. Ia dihukum oleh ibu dan ayah. Kali ini ia
dihukum sangat berat, handphone dan alat elektronik canggih yang ia miliki
seluruhnya disita. Bukan main marahnya ia padaku. Aku menangis lagi
membayangkan ia dihukum karena aku. Karena kehadiranku ia jdi menderita.
***
Aku sudah tiada sejak peristiwa
di tengah perjalanan pulang itu. Aku tidak marah, aku hanya ingin membuatnya
mengakui kehadiranku. “Aku menyesal, bu, yah. Aku minta maaf, aku benar-benar
khilaf melakukan itu” kakak menangis sejadi-jadinya di hadapan ibu, ayah dan
kakak laki-lakiku. Ia mengakui bahwa dialah yang mendorongku secara diam-diam
saat aku mengeluarkan sebagian tubuhku di kaca mobil. “kamu benar-benar
keterlaluan. Anak tidak tahu diri kamu!!” ayah murka dan mencoba mendaratkan
telapak tangannya di pipi kakak tetapi gagal karena dicegah oleh kakak
laki-lakiku. “ibu benar-benar tidak habis pikir kamu berbuat sekeji itu pada
adikmu. Apa salah dia, hahh? Dia masih kecil dan tak tahu apa-apa. Seharusnya
kamu melindungi dia, bukannya membuat dia..akrhhh” ibu membentak kakak sambil
bersandar di dinding dengan lemas. Ibu mencium seragam sekolahku yang setiap
hari aku pakai. Ia menangis sepertiku.
***
Aku selalu ada, di samping kakak.
Aku menangis, selalu menangis di sampingnya. Ia menjadi seperti orang gila dan
sering menjerit histeris di kamar. “pergiiiii..jangan ganggu aku!! Aku benci
tangisanmu! PERGIIII!!!” teriak kakak sambil melempar apa saja yang ia pegang.
Aku menangis lagi, menangis. Aku tidak mengganggunya, aku hanya ingin ia
mengakui keberadaanku sebagai adik kecilnya. “kakak...ayo maiiin”
Subscribe to:
Posts (Atom)