Saturday, 20 July 2013

Ketika Sang Pujangga Bicara



Deru angin kian menebar aroma air wudhu yang baru saja aku basuh di seluruh anggota badanku dan suara adzan seakan menggoda hati ‘tuk melangkahkan kaki menuju ke kediamanNya yang Agung. Aku memegang rok mukenahku dengan perlahan memasuki mesjid, sedang hati masih diliputi rasa segan untuk menatap langit-langit mesjid yang penuh dengan lampu. Hatiku terketuk, ada rasa cinta yang sedang ingin bertamu di dalamnya. Kuikhlaskan ia masuk dan duduk dengan manisnya. Usai sholat tahiyatul mesjid dilanjutkan sholat sunnat subuh, sejenak aku duduk dalam sebait doa. Kini aku tengah membasahi lisanku dengan puji-pujian untukNya, dengan segala kebesaran dan nikmat yang ia berikan padaku subuh ini, yang membuatku tak habis pikir akan merasakan perasaan seindah ini.

Usai sholat subuh, aku kembali ke asrama putri tempat aku melakukan segala aktivitas. Kubuka kembali lembaran-lembaran putih yang aku ambil dari majalah dinding sekolah. Di dalamnya bertuliskan kalimat-kalimat yang baku dan penuh makna. “Duka adalah setitik noda, lalu biarkan cinta membalutnya dengan indah. Aku merinduNya dengan segenap jiwa”. Itu hanyalah sepenggal kalimat yang membuatku takjub pada orang yang menuliskan kalimat ini. Bukan, aku lalai menjaga perasaan hingga terperosok ke dalam jurang percintaan. Yah, aku mengalami sebuah fenomena dimana sebuah jiwa telah tertancap anak panah asmara, dan aku sedang jatuh cinta padanya. Aku tak kuasa menahan, menolak apalagi melupakan. Aku bertanya pada Alloh pada sepenggal malam, sudikah kiranya Dia mengizinkan aku, hamba penuh dosa untuk bisa merasakan cinta ini? 

Fajar gemerlapan. Lalu biasnya masuk ke celah fentilasi dan jendela kamarku. Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan was-was tak terkira karena semalam bergelut dengan kekalutan dan dilema. Dia belum juga memberiku petunjuk. Kemudian aku mencari-cari sang pujangga pujaan di seluruh sekolah. Aku ingin mengembalikan seluruh karyanya yang telah kuambil tanpa seizin dia. Aku malu. Aku merasa jadi pencuri. Alasan karena aku kagum mungkin tak dapat diampuni. Namun, apapun yang ia katakan nanti akan kuterima, sekalipun ia mengataiku dengan cercaan dan hinaan, aku siap. Karena, duka selalu dibalut dengan cinta.

Saat jam istirahat, kembali aku mencari sosok sang pujangga. Ternyata ia sedang duduk manis di kantin Pak Tejo sambil menyeruput segelas es. Kuberanikan diri menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Kulihat raut wajahnya berubah heran. Diletakkannya minuman itu ke meja dan merapikan seragamnya. 

            “Maafkan aku. Aku sering mencuri karya-karyamu di mading sekolah. Aku kagum makanya aku ambil. Aku salah. Hukum aku. aku siap. Ini aku kembalikan lagi.” Ujarku dengan nada suara bergetar karena gugup.
Kuangkat wajahku untuk memastikan reaksinya. Oh indahnya..ia tersenyum. Aku menunduk kembali dan bermain denga pikiranku. “Ambillah. Kau bukan pencuri. Aku malah senang jika ada yang kagum.” Jawabnya sopan.
            “Ah?” aku terkejut mendengarnya.
            “Ambillah. Tidak apa-apa kok. Maaf yah kalau isinya jelek, hehe”
            “Ah tidak sama sekali. Aku malah suka. Suka sekali dengan puisi-puisimu.” Kataku masih gugup.
            “Terima kasih” jawabnya.

Sejak pertemuan itu aku jadi mengaguminya dua kali lipat. Perasaan cinta yang sempat hinggap di hatiku kini berangsur hilang digantikan oleh jutaan kekaguman. Sang pujangga itu tak pantas kucintai. Sang pujangga yang terkenal teguh imannya dan seorang hafiz Al Quran itu tak pantas untuk gadis berlumur dosa sepertiku. Sang pujangga yang itu, biarkan ia jadi motivasku untuk terus belajar. Hingga setahun kemudian ia lulus dan tak aku ketahui lagi kabarnya. Sedih berkecamuk walau aku tahu, ini adalah takdir yang Kuasa.

Suatu subuh yang dingin, kala itu gerimis sedang bersenandung. Sesosok lelaki dengan tegap berdiri di hadapanku sambil menenteng sajadah. “Sang Pujangga?”pekik batinku terkejut. Mengapa ia bisa ada di sini? Selama 2 tahun tak pernah mendengar kabarnya, ia datang lagi? Tanya terus mengaliri pikiranku. Aku menunduk dan tak ingin menatap matanya. Kemudian ia mulai angkat bicara dengan pelan dan sopan seperti biasa. 

            “Dik, selama ini aku belum tahu namamu. Selama bersekolah di sini aku tak banyak tahu tentang dirimu. Tapi entah kenapa sejak pertemuan di kantin itu, aku tergerak untuk menemuimu lagi.” Katanya.
            “Namaku Riana, Kak. Ada keperluan apa kakak kembali kalau boleh tahu?”
            “Sebelumnya aku ingin memperkenalkan diri juga. Namaku Alif. Mungkin kamu sudah tahu sebelumnya. Jika kukatakan maksudku, mohon kamu mengerti yah.” Ujarnya mengundang penasaran.

            Aku mengangguk.
            “Aku kembali karena ingin melamarmu. Aku sudah mempunyai pekerjaan sambil kuliah. Aku ingin kita menikah setelah kamu lulus nanti.” Ujarnya dengan tegas.
            Aku mengangkat wajahku sambil menatap lekat-lekat wajahnya dan mencerna kembali pernyataannya. Apa yang baru saja kudengar seperti ribuan rinai hujan yang mengguyur tanah kering nan tandus. Hatiku bergidik nyeri bercampur senang dan ribuan perasaan lainnya yang tak dapat kulisankan. 

            “Mungkin aku sedang bermimpi kak?” tanyaku polos.
            “Tidak, dik. Ini nyata. Aku sedang menyusun keberanian untuk melamarmu. Dan aku serius. Yah, walaupun kita sebenarnya belum terlalu lama kenal. Tapi hatiku sangat teguh dan yakin untuk melakukan ini.”
            “Subhanalloh..” aku tertunduk sambil meneteskan air mata bahagia. “Insya Alloh, aku siap menerima lamaran kakak.”

Lalu kami meninggalkan mesjid setelah prosesi lamaran mendadak itu. Disaksikan oleh kokohnya bangunan mesjid yang membisu dan gerimis yang bersenandung. Aku berdiam diri di kamar asrama sambil terus memuji kebesaran Alloh.
            “Semoga kelak kau akan jadi imamku, Kak Alif.” Batinku.

No comments:

Post a Comment