Saturday 6 April 2013

di Antara Senar Gitar dan Biola







Dulu ibu akan menghukumku jika memarahi adik. Kubentak sedikit saja, adik akan menangis. Setelah itu, ibu akan memukuliku dengan kasarnya. Ia akan berhenti memukuliku jika adik memintanya ataukah ayah menyuruhnya berhenti. Segitu bencikah ibu padaku? Kadang aku berpikir ia lebih sayang pada anak bungsunya dibanding aku. Aku tidak mengingat lagi kapan terakhir kali ibu memujiku. Emiri dan aku terpaut usia 2 tahun, dan ia memang anak yang lembut, tidak sepertiku yang sedikit bersifat tomboy.
“darimana saja kau?” tanya ibu dengan nada sinis saat aku baru saja membuka sepatu.
“sekolah” jawabku seadanya sambil berjalan menuju kamar.
“dasar anak tidak sopan! Hei, kau sedang berbicara dengan ibumu, mengapa sifatmu tidak juga bisa seperti Emiri hah?!!” bentak ibu dengan keras di belakangku. Aku sedikit sakit hati dengan ucapan ibu, kenapa ia selalu ingin aku seperti Emiri?
“aku lelah, aku baru saja pulang kenapa langsung dimarahi? Kenapa aku tidak seperti teman-temanku yang selalu di sambut hangat oleh ibunya setiap pulang sekolah?” tuturku dengan mata berkaca-kaca lalu segera berlari menuju kamar.
BRAAKKKK!!! Kubanting keras pintu kamar dan kubuka lebar-lebar jendela kamaku. Angin mengusap lembut kristal bening yang tidak sengaja menganak sungai di pipiku. “aku bukan anak yang diharapkan ibu” batinku lirih, lalu merebahkan diri di tempat tidur.

Tak terasa aku sudah tertidur 3 jam lamanya. Jendela kamar masih terbuka lebar, memperlihatkan primadona malam yang tengah tersipu malu di antara kerumunan awan yang kehitam-hitaman.   sudah waktunya makan malam, aku bergegas membersihkan diri kemudian menuju ke ruang makan. Kulihat ayah, ibu dan Emiri sudah bersiap di sana. Ibu menatapku sinis dan ayah lalu menyuruhku duduk di sebelah Emiri yang menyunggingkan senyum padaku.
“baru bangun ya? Kakak pasti lelah” kata Emiri dengan suaranya yang lembut.
“yow” jawabku singkat sambil menyendok nasi dan lauk ke piringku. Dengan lahapnya aku menyuap makanan dengan bersemangat hingga suara teguran yang tidak kusukai itu terdengar lagi. “tidak bisakah kau makan layaknya anak perempuan?” ujar ibu. Aku tidak mempedulikan perkataan ibu. Aku tetap asyik mengunyah makananku. Emiri terlihat panik saat itu.

“lihat adikmu, ia makan lebih sopan dan selayaknya anak perempuan. Sedangkan kau apa? Seperti tidak punya etika!” tutur ibu lagi yang kali ini membuatku geram. “bisakah ibu diam? Ini waktunya makan, bukan bicara. Ayah saja tidak mempermasalahkan cara makanku, kenapa ibu selalu saja membandingkanku dengan Emiri? Semua anak punya karakter masing-masing, bu. Tidak akan pernah sama” aku mendengus kesal dan melanjutkan makanku dengan gerakan lebih cepat.
“sudah, Kita sedang makan, jangan membuat kegaduhan di depan makanan!” tegur ayah lembut. 

                Setelah selesai makan, aku kembali ke kamar dan mengingat-ingat lagi semua perkataan ibu padaku, tentang perbedaanku dengan Emiri yang lebih lembut, tentang bakat Emiri yang pandai bermain biola. Ibu akan menyuruhku keluar dari rumah saat memainkan gitar kesayanganku. “kalau mau main gitar, sana di luar. Jangan membuat kegaduhan di dalam rumah” begitu katanya. Terngiang dan menjadi mimpi buruk dalam tidurku. Huhh..

Saat pulang sekolah kulihat Emiri tengah dikerumuni oleh beberapa orang. Aku hanya memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan. Sambil memainkan ponselku, sesekali aku melirik ke arah mereka. Nampak rambut Emiri ditarik oleh salah satu dari mereka dengan kasarnya. Sontak aku geram dan naik darah melihat adikku diperlakukan demikian. Aku segera berlari ke arah mereka dan memukul gadis yang menarik rambut Emiri. Akhirnya kami pun berkelahi. Tak berapa lama kemudian aku berhasil melumpuhkan gadis itu dan meminta maaf padaku. Kubalas dengan menarik rambutnya hingga ia meringis kesakitan dan memohon untuk dilepaskan. Lalu rombongan gadis-gadis itu berlari meninggalkan temannya yang sedang kutarik rambutnya. 

“berani kau menyakiti adikku, kau akan mati di tanganku!!!” ancamku dengan wajah memerah.
“tidak, ampun, aku janji tidak akan mengganggu Emiri  lagi. Tolong lepaskan rambutku, sakit sekali!” pintanya dengan mata yang sudah mulai berlinang air mata.
“sakit kan? Ini belum seberapa, aku bisa membuatmu lebih sakit dari ini. Kau mengerti?!
Ia menjawab sambil terisak,”iya, iya aku mengerti!!”
Kemudian kulepaskan rambut gadis itu sambil mendorongnya dengan kasar. Dalam hati aku sangat iba melihat adikku yang begitu lemah karena tidak melawan.

“kaaak..kakak, tunggu!” teriak Emiri yang berlari-lari kecil di belakangku saat aku berjalan menuju gerbang sekolah.
“bisa jalan lebih cepat? Kenapa kau begitu lemah, hah?!” tegurku dengan suara lantang yang membuat ia berdiri menunduk di hadapanku. “kenapa? Kau ingin mengadukanku pada ibu kalau aku membentakmu? Sana, silahkan!”
Emiri memelukku erat sambil menangis. Aku diam mematung dalam pelukannya. “ada apa dengan anak ini?” batinku penasaran.
“terima kasih. Kalau kakak tidak ada, aku pasti sudah dihajar oleh mereka” tuturnya lirih.
“kalau kau dihajar, aku akan dihajar juga oleh ibu. Asal kau tahu, kau itu anak kesayangannya. Kau tidak boleh terluka sedikitpun. jika kau terluka, pasti aku disalahkan karena ceroboh tidak menjagamu. Mengerti?! Sudah, lepaskan aku” kataku sambil melepaskan diri dari pelukannya.
“kaak..” ia menangis terisak di hadapanku. “aku begitu menyayangimu. Aku tidak berani membelamu di hadapan ibu karena takut dimarahi juga. Kau tahu, aku sangat kasihan jika kau setiap hari harus dimarahi ibu walaupun tanpa kesalahan”
“sudah biasa. Biarkan saja ibu marah, harusnya ia langsung saja membunuhku biar tidak ada yang membuatnya marah” jawabku asal.
“kakak, jangan bicara sembarangan. Ibu menyayangimu!” kata Emiri membela ibu.
“ya, terserah katamu” jawabku datar lalu meninggalkan ia sendirian.
Aku tak pernah menyalahkanmu, adikku..

                Beberapa tahun kemudian, aku lulus dari sekolah dan berniat melanjutkan studi ke kota lain. Aku ingin mengembangkan bakatku bermain gitar dan bernyanyi agar nantinya aku bisa terkenal seperti penyanyi idolaku, Yui.  Ayah sangat mendukungku dan mengizinkanku untuk menetap di kota tempat pamanku tinggal. Sedangkan ibu tidak peduli dan menyerahkan keputusan sepenuhnya pada ayah. Lain halnya dengan Emiri yang tidak ingin aku pergi. Ia menangis berhari-hari, bahkan menangis di depan kamarku dan merengek ingin tidur bersama sebelum aku pergi. Tapi aku tidak memperbolehkan ia masuk sebelum nantinya aku pergi. Dasar anak manja.
“kenapa kau jahat?! Aku hanya ingin tidur bersamamu, malam ini saja. Besok kau sudah berangkat, kan? Bukaaaaaa!!’ teriaknya sambil memukul-mukul pintu kamarku.
“heh, anak manja. Berisik. Sana pergi, aku tidak ingin tidur denganmu. Aku tidak ingin tertular sifat lemahmu itu” balasku dengan teriakan pula.
“ini tidak menular, bodoh!” teriaknya dengan suara tercekak karena menahan tangis. 

Aku tidak sengaja tertawa mendengarnya, aku menahan suara tawaku agar tidak terdengar olehnya. Lalu beberapa menit kemudian tak ada suara. Aku pikir ia sudah lelah membujukku untuk membukakannya pintu dan kembali ke kamarnya. Dengan perlahan aku membuka pintu kamar dan terkejut melihat ia terkulai di lantai. Ah, rupanya ia tertidur. Aku merasa kasihan melihat adikku, aku lalu menggendongnya masuk ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Andai saja ia tidak tertidur, tidak akan kubiarkan ia masuk! Kuusap rambutnya dengan lembut, “sebenarnya aku tidak ingin berbicara kasar padamu, tapi aku merasa aneh jika berkata lembut. Entahlah” batinku.

                Kubuka tirai abu-abu yang masih menutupi jendela. Dari celah-celah ventilasi terbias cahaya mentari yang membuat seisi kamarku terang benderang, warnanya terlihat hangat. Kulihat Emiri masih terlelap dalam tidurnya sambi memeluk guling. “bangun, dasar pemalas!” kuguncang tubuhnya hingga ia terbangun. Sambil menggosok matanya, ia tersenyum sumringah saat menyadari ia tidur di kamarku. “kakaaaaak! Aku tidur di sini dari semalam ya?” tanyanya polos nan menyebalkan.
“iya, dan kau sangat menyusahkan. Kau membuatku terjatuh dari tempat tidur karena gerakanmu yang keterlaluan itu” tuturku kesal.
“hahahaa...maaf, kak. Karena tidurku terasa nyaman sekali, makanya begitu..” jawabnya sambil tertawa lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“hah, alasan kau”
“kak, aku sudah mengizinkanmu pergi. Asal kau janji akan sukses nantinya dan kembali ke rumah” katanya.
“kau pikir aku tidak serius untuk sukses? Lihat saja nanti. Akan kubuat ibu terpesona dengan alunan suara gitarku yang katanya menyebalkan itu. Heh” aku mendengus kesal mengingat omelan ibu.
“hehee..ganbatte!” 

                Aku berdiri mengamati sekeliling rumah. Aku harap tidak ada kerinduan yang tersangkut dalam hatiku yang bisa membuatku terganggu di sana. Dan juga Emiri, semoga dia tidak merindukanku agar ia berhenti menangis. Ibu, semoga ia bisa menyayangiku seperti sayangnya kepada Emiri. Aku melambaikan tangan ke arah ibu dan Emiri sebelum masuk ke mobil bersama ayah.
                Hari pertama di kampus sangat menyenangkan. Dan di sana pula pertama kalinya aku jatuh cinta pada seorang teman kelasku dan menjalin hubungan dengannya. Aku masuk di jurusan musik dan mulai mengasah bakatku di sana. Aku ingin semua orang membuka matanya dan melihat aku sebagai seorang yang bisa diacungi jempol, bukan untuk menjadi sasaran kemarahan. Hingga beberapa tahun aku menuntut ilmu, aku pun berhasil menemukan impianku. Berada di atas panggung dengan gitar kesayanganku sambil menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Untuk pertama kalinya aku melihat ibu tersenyum bangga di kursi penonton, bersama ayah dan Emiri yang kini sudah sukses menjadi seorang violinist terkenal di kotaku.