Dulu ibu akan
menghukumku jika memarahi adik. Kubentak sedikit saja, adik akan menangis.
Setelah itu, ibu akan memukuliku dengan kasarnya. Ia akan berhenti memukuliku
jika adik memintanya ataukah ayah menyuruhnya berhenti. Segitu bencikah ibu
padaku? Kadang aku berpikir ia lebih sayang pada anak bungsunya dibanding aku.
Aku tidak mengingat lagi kapan terakhir kali ibu memujiku. Emiri dan aku
terpaut usia 2 tahun, dan ia memang anak yang lembut, tidak sepertiku yang
sedikit bersifat tomboy.
“darimana saja kau?” tanya ibu
dengan nada sinis saat aku baru saja membuka sepatu.
“sekolah” jawabku seadanya sambil
berjalan menuju kamar.
“dasar anak tidak sopan! Hei, kau
sedang berbicara dengan ibumu, mengapa sifatmu tidak juga bisa seperti Emiri
hah?!!” bentak ibu dengan keras di belakangku. Aku sedikit sakit hati dengan
ucapan ibu, kenapa ia selalu ingin aku seperti Emiri?
“aku lelah, aku baru saja pulang
kenapa langsung dimarahi? Kenapa aku tidak seperti teman-temanku yang selalu di
sambut hangat oleh ibunya setiap pulang sekolah?” tuturku dengan mata
berkaca-kaca lalu segera berlari menuju kamar.
BRAAKKKK!!! Kubanting keras pintu
kamar dan kubuka lebar-lebar jendela kamaku. Angin mengusap lembut kristal
bening yang tidak sengaja menganak sungai di pipiku. “aku bukan anak yang
diharapkan ibu” batinku lirih, lalu merebahkan diri di tempat tidur.
Tak terasa aku
sudah tertidur 3 jam lamanya. Jendela kamar masih terbuka lebar, memperlihatkan
primadona malam yang tengah tersipu malu di antara kerumunan awan yang
kehitam-hitaman. sudah waktunya makan malam,
aku bergegas membersihkan diri kemudian menuju ke ruang makan. Kulihat ayah,
ibu dan Emiri sudah bersiap di sana. Ibu menatapku sinis dan ayah lalu
menyuruhku duduk di sebelah Emiri yang menyunggingkan senyum padaku.
“baru bangun ya? Kakak pasti lelah”
kata Emiri dengan suaranya yang lembut.
“yow” jawabku singkat sambil
menyendok nasi dan lauk ke piringku. Dengan lahapnya aku menyuap makanan dengan
bersemangat hingga suara teguran yang tidak kusukai itu terdengar lagi. “tidak
bisakah kau makan layaknya anak perempuan?” ujar ibu. Aku tidak mempedulikan
perkataan ibu. Aku tetap asyik mengunyah makananku. Emiri terlihat panik saat
itu.
“lihat adikmu, ia makan lebih
sopan dan selayaknya anak perempuan. Sedangkan kau apa? Seperti tidak punya
etika!” tutur ibu lagi yang kali ini membuatku geram. “bisakah ibu diam? Ini
waktunya makan, bukan bicara. Ayah saja tidak mempermasalahkan cara makanku,
kenapa ibu selalu saja membandingkanku dengan Emiri? Semua anak punya karakter
masing-masing, bu. Tidak akan pernah sama” aku mendengus kesal dan melanjutkan
makanku dengan gerakan lebih cepat.
“sudah, Kita sedang makan, jangan
membuat kegaduhan di depan makanan!” tegur ayah lembut.
Setelah
selesai makan, aku kembali ke kamar dan mengingat-ingat lagi semua perkataan
ibu padaku, tentang perbedaanku dengan Emiri yang lebih lembut, tentang bakat
Emiri yang pandai bermain biola. Ibu akan menyuruhku keluar dari rumah saat
memainkan gitar kesayanganku. “kalau mau
main gitar, sana di luar. Jangan membuat kegaduhan di dalam rumah” begitu
katanya. Terngiang dan menjadi mimpi buruk dalam tidurku. Huhh..
Saat pulang
sekolah kulihat Emiri tengah dikerumuni oleh beberapa orang. Aku hanya
memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan. Sambil memainkan ponselku,
sesekali aku melirik ke arah mereka. Nampak rambut Emiri ditarik oleh salah
satu dari mereka dengan kasarnya. Sontak aku geram dan naik darah melihat
adikku diperlakukan demikian. Aku segera berlari ke arah mereka dan memukul
gadis yang menarik rambut Emiri. Akhirnya kami pun berkelahi. Tak berapa lama
kemudian aku berhasil melumpuhkan gadis itu dan meminta maaf padaku. Kubalas dengan
menarik rambutnya hingga ia meringis kesakitan dan memohon untuk dilepaskan.
Lalu rombongan gadis-gadis itu berlari meninggalkan temannya yang sedang
kutarik rambutnya.
“berani kau menyakiti adikku, kau
akan mati di tanganku!!!” ancamku dengan wajah memerah.
“tidak, ampun, aku janji tidak akan
mengganggu Emiri lagi. Tolong lepaskan
rambutku, sakit sekali!” pintanya dengan mata yang sudah mulai berlinang air
mata.
“sakit kan? Ini belum seberapa,
aku bisa membuatmu lebih sakit dari ini. Kau mengerti?!
Ia menjawab sambil terisak,”iya,
iya aku mengerti!!”
Kemudian kulepaskan rambut gadis
itu sambil mendorongnya dengan kasar. Dalam hati aku sangat iba melihat adikku
yang begitu lemah karena tidak melawan.
“kaaak..kakak, tunggu!” teriak
Emiri yang berlari-lari kecil di belakangku saat aku berjalan menuju gerbang
sekolah.
“bisa jalan lebih cepat? Kenapa
kau begitu lemah, hah?!” tegurku dengan suara lantang yang membuat ia berdiri
menunduk di hadapanku. “kenapa? Kau ingin mengadukanku pada ibu kalau aku
membentakmu? Sana, silahkan!”
Emiri memelukku erat sambil
menangis. Aku diam mematung dalam pelukannya. “ada apa dengan anak ini?”
batinku penasaran.
“terima kasih. Kalau kakak tidak
ada, aku pasti sudah dihajar oleh mereka” tuturnya lirih.
“kalau kau dihajar, aku akan dihajar
juga oleh ibu. Asal kau tahu, kau itu anak kesayangannya. Kau tidak boleh
terluka sedikitpun. jika kau terluka, pasti aku disalahkan karena ceroboh tidak
menjagamu. Mengerti?! Sudah, lepaskan aku” kataku sambil melepaskan diri dari
pelukannya.
“kaak..” ia menangis terisak di
hadapanku. “aku begitu menyayangimu. Aku tidak berani membelamu di hadapan ibu
karena takut dimarahi juga. Kau tahu, aku sangat kasihan jika kau setiap hari
harus dimarahi ibu walaupun tanpa kesalahan”
“sudah biasa. Biarkan saja ibu
marah, harusnya ia langsung saja membunuhku biar tidak ada yang membuatnya
marah” jawabku asal.
“kakak, jangan bicara
sembarangan. Ibu menyayangimu!” kata Emiri membela ibu.
“ya, terserah katamu” jawabku
datar lalu meninggalkan ia sendirian.
Aku tak pernah menyalahkanmu,
adikku..
Beberapa
tahun kemudian, aku lulus dari sekolah dan berniat melanjutkan studi ke kota
lain. Aku ingin mengembangkan bakatku bermain gitar dan bernyanyi agar nantinya
aku bisa terkenal seperti penyanyi idolaku, Yui. Ayah sangat mendukungku dan mengizinkanku
untuk menetap di kota tempat pamanku tinggal. Sedangkan ibu tidak peduli dan
menyerahkan keputusan sepenuhnya pada ayah. Lain halnya dengan Emiri yang tidak
ingin aku pergi. Ia menangis berhari-hari, bahkan menangis di depan kamarku dan
merengek ingin tidur bersama sebelum aku pergi. Tapi aku tidak memperbolehkan
ia masuk sebelum nantinya aku pergi. Dasar anak manja.
“kenapa kau jahat?! Aku hanya
ingin tidur bersamamu, malam ini saja. Besok kau sudah berangkat, kan?
Bukaaaaaa!!’ teriaknya sambil memukul-mukul pintu kamarku.
“heh, anak manja. Berisik. Sana
pergi, aku tidak ingin tidur denganmu. Aku tidak ingin tertular sifat lemahmu
itu” balasku dengan teriakan pula.
“ini tidak menular, bodoh!”
teriaknya dengan suara tercekak karena menahan tangis.
Aku tidak sengaja tertawa
mendengarnya, aku menahan suara tawaku agar tidak terdengar olehnya. Lalu
beberapa menit kemudian tak ada suara. Aku pikir ia sudah lelah membujukku
untuk membukakannya pintu dan kembali ke kamarnya. Dengan perlahan aku membuka
pintu kamar dan terkejut melihat ia terkulai di lantai. Ah, rupanya ia
tertidur. Aku merasa kasihan melihat adikku, aku lalu menggendongnya masuk ke
kamar dan membaringkannya di tempat tidur. Andai saja ia tidak tertidur, tidak
akan kubiarkan ia masuk! Kuusap rambutnya dengan lembut, “sebenarnya aku tidak
ingin berbicara kasar padamu, tapi aku merasa aneh jika berkata lembut.
Entahlah” batinku.
Kubuka
tirai abu-abu yang masih menutupi jendela. Dari celah-celah ventilasi terbias
cahaya mentari yang membuat seisi kamarku terang benderang, warnanya terlihat
hangat. Kulihat Emiri masih terlelap dalam tidurnya sambi memeluk guling.
“bangun, dasar pemalas!” kuguncang tubuhnya hingga ia terbangun. Sambil
menggosok matanya, ia tersenyum sumringah saat menyadari ia tidur di kamarku.
“kakaaaaak! Aku tidur di sini dari semalam ya?” tanyanya polos nan menyebalkan.
“iya, dan kau sangat menyusahkan.
Kau membuatku terjatuh dari tempat tidur karena gerakanmu yang keterlaluan itu”
tuturku kesal.
“hahahaa...maaf, kak. Karena
tidurku terasa nyaman sekali, makanya begitu..” jawabnya sambil tertawa lebar
memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
“hah, alasan kau”
“kak, aku sudah mengizinkanmu
pergi. Asal kau janji akan sukses nantinya dan kembali ke rumah” katanya.
“kau pikir aku tidak serius untuk
sukses? Lihat saja nanti. Akan kubuat ibu terpesona dengan alunan suara gitarku
yang katanya menyebalkan itu. Heh” aku mendengus kesal mengingat omelan ibu.
“hehee..ganbatte!”
Aku
berdiri mengamati sekeliling rumah. Aku harap tidak ada kerinduan yang
tersangkut dalam hatiku yang bisa membuatku terganggu di sana. Dan juga Emiri,
semoga dia tidak merindukanku agar ia berhenti menangis. Ibu, semoga ia bisa
menyayangiku seperti sayangnya kepada Emiri. Aku melambaikan tangan ke arah ibu
dan Emiri sebelum masuk ke mobil bersama ayah.
Hari
pertama di kampus sangat menyenangkan. Dan di sana pula pertama kalinya aku
jatuh cinta pada seorang teman kelasku dan menjalin hubungan dengannya. Aku
masuk di jurusan musik dan mulai mengasah bakatku di sana. Aku ingin semua
orang membuka matanya dan melihat aku sebagai seorang yang bisa diacungi
jempol, bukan untuk menjadi sasaran kemarahan. Hingga beberapa tahun aku
menuntut ilmu, aku pun berhasil menemukan impianku. Berada di atas panggung
dengan gitar kesayanganku sambil menyanyikan lagu ciptaanku sendiri. Untuk
pertama kalinya aku melihat ibu tersenyum bangga di kursi penonton, bersama
ayah dan Emiri yang kini sudah sukses menjadi seorang violinist terkenal di kotaku.