Deru
angin kian menebar aroma air wudhu yang baru saja aku basuh di seluruh anggota
badanku dan suara adzan seakan menggoda hati ‘tuk melangkahkan kaki menuju ke
kediamanNya yang Agung. Aku memegang rok mukenahku dengan perlahan memasuki
mesjid, sedang hati masih diliputi rasa segan untuk menatap langit-langit
mesjid yang penuh dengan lampu. Hatiku terketuk, ada rasa cinta yang sedang
ingin bertamu di dalamnya. Kuikhlaskan ia masuk dan duduk dengan manisnya. Usai
sholat tahiyatul mesjid dilanjutkan sholat sunnat subuh, sejenak aku duduk
dalam sebait doa. Kini aku tengah membasahi lisanku dengan puji-pujian
untukNya, dengan segala kebesaran dan nikmat yang ia berikan padaku subuh ini,
yang membuatku tak habis pikir akan merasakan perasaan seindah ini.
Usai
sholat subuh, aku kembali ke asrama putri tempat aku melakukan segala
aktivitas. Kubuka kembali lembaran-lembaran putih yang aku ambil dari majalah
dinding sekolah. Di dalamnya bertuliskan kalimat-kalimat yang baku dan penuh
makna. “Duka adalah setitik noda, lalu
biarkan cinta membalutnya dengan indah. Aku merinduNya dengan segenap jiwa”. Itu
hanyalah sepenggal kalimat yang membuatku takjub pada orang yang menuliskan
kalimat ini. Bukan, aku lalai menjaga perasaan hingga terperosok ke dalam
jurang percintaan. Yah, aku mengalami sebuah fenomena dimana sebuah jiwa telah
tertancap anak panah asmara, dan aku sedang jatuh cinta padanya. Aku tak kuasa
menahan, menolak apalagi melupakan. Aku bertanya pada Alloh pada sepenggal
malam, sudikah kiranya Dia mengizinkan aku, hamba penuh dosa untuk bisa
merasakan cinta ini?
Fajar
gemerlapan. Lalu biasnya masuk ke celah fentilasi dan jendela kamarku. Aku
berangkat ke sekolah dengan perasaan was-was tak terkira karena semalam
bergelut dengan kekalutan dan dilema. Dia belum juga memberiku petunjuk.
Kemudian aku mencari-cari sang pujangga pujaan di seluruh sekolah. Aku ingin
mengembalikan seluruh karyanya yang telah kuambil tanpa seizin dia. Aku malu.
Aku merasa jadi pencuri. Alasan karena aku kagum mungkin tak dapat diampuni.
Namun, apapun yang ia katakan nanti akan kuterima, sekalipun ia mengataiku
dengan cercaan dan hinaan, aku siap. Karena, duka selalu dibalut dengan cinta.
Saat
jam istirahat, kembali aku mencari sosok sang pujangga. Ternyata ia sedang
duduk manis di kantin Pak Tejo sambil menyeruput segelas es. Kuberanikan diri
menghampirinya dan duduk tepat di hadapannya. Kulihat raut wajahnya berubah heran.
Diletakkannya minuman itu ke meja dan merapikan seragamnya.
“Maafkan aku. Aku sering mencuri
karya-karyamu di mading sekolah. Aku kagum makanya aku ambil. Aku salah. Hukum
aku. aku siap. Ini aku kembalikan lagi.” Ujarku dengan nada suara bergetar
karena gugup.
Kuangkat
wajahku untuk memastikan reaksinya. Oh indahnya..ia tersenyum. Aku menunduk
kembali dan bermain denga pikiranku. “Ambillah. Kau bukan pencuri. Aku malah
senang jika ada yang kagum.” Jawabnya sopan.
“Ah?” aku terkejut mendengarnya.
“Ambillah. Tidak apa-apa kok. Maaf
yah kalau isinya jelek, hehe”
“Ah tidak sama sekali. Aku malah
suka. Suka sekali dengan puisi-puisimu.” Kataku masih gugup.
“Terima kasih” jawabnya.
Sejak
pertemuan itu aku jadi mengaguminya dua kali lipat. Perasaan cinta yang sempat
hinggap di hatiku kini berangsur hilang digantikan oleh jutaan kekaguman. Sang
pujangga itu tak pantas kucintai. Sang pujangga yang terkenal teguh imannya dan
seorang hafiz Al Quran itu tak pantas untuk gadis berlumur dosa sepertiku. Sang
pujangga yang itu, biarkan ia jadi motivasku untuk terus belajar. Hingga
setahun kemudian ia lulus dan tak aku ketahui lagi kabarnya. Sedih berkecamuk
walau aku tahu, ini adalah takdir yang Kuasa.
Suatu
subuh yang dingin, kala itu gerimis sedang bersenandung. Sesosok lelaki dengan
tegap berdiri di hadapanku sambil menenteng sajadah. “Sang Pujangga?”pekik
batinku terkejut. Mengapa ia bisa ada di sini? Selama 2 tahun tak pernah
mendengar kabarnya, ia datang lagi? Tanya terus mengaliri pikiranku. Aku
menunduk dan tak ingin menatap matanya. Kemudian ia mulai angkat bicara dengan
pelan dan sopan seperti biasa.
“Dik, selama ini aku belum tahu
namamu. Selama bersekolah di sini aku tak banyak tahu tentang dirimu. Tapi
entah kenapa sejak pertemuan di kantin itu, aku tergerak untuk menemuimu lagi.”
Katanya.
“Namaku Riana, Kak. Ada keperluan
apa kakak kembali kalau boleh tahu?”
“Sebelumnya aku ingin memperkenalkan
diri juga. Namaku Alif. Mungkin kamu sudah tahu sebelumnya. Jika kukatakan
maksudku, mohon kamu mengerti yah.” Ujarnya mengundang penasaran.
Aku mengangguk.
“Aku kembali karena ingin melamarmu.
Aku sudah mempunyai pekerjaan sambil kuliah. Aku ingin kita menikah setelah
kamu lulus nanti.” Ujarnya dengan tegas.
Aku mengangkat wajahku sambil
menatap lekat-lekat wajahnya dan mencerna kembali pernyataannya. Apa yang baru
saja kudengar seperti ribuan rinai hujan yang mengguyur tanah kering nan
tandus. Hatiku bergidik nyeri bercampur senang dan ribuan perasaan lainnya yang
tak dapat kulisankan.
“Mungkin aku sedang bermimpi kak?”
tanyaku polos.
“Tidak, dik. Ini nyata. Aku sedang
menyusun keberanian untuk melamarmu. Dan aku serius. Yah, walaupun kita
sebenarnya belum terlalu lama kenal. Tapi hatiku sangat teguh dan yakin untuk
melakukan ini.”
“Subhanalloh..” aku tertunduk sambil
meneteskan air mata bahagia. “Insya Alloh, aku siap menerima lamaran kakak.”
Lalu
kami meninggalkan mesjid setelah prosesi lamaran mendadak itu. Disaksikan oleh
kokohnya bangunan mesjid yang membisu dan gerimis yang bersenandung. Aku
berdiam diri di kamar asrama sambil terus memuji kebesaran Alloh.
“Semoga kelak kau akan jadi imamku,
Kak Alif.” Batinku.