CILIK
vs LICIK
“mumpung hari ini pulang cepet, main ke
terminal lagi ah..” kata Fulan gembira.
Langit
tak begitu cerah hari ini, meskipun demikian tak mengurungkan niat Fulan untuk
berjalan-jalan kemana pun ia inginkan. Walaupun ia masih berusia 11 tahun, ia
sudah berani bepergian tanpa orang tua. Kebetulan hari ini sekolah memulangkan
para muridnya lebih awal karena ada rapat guru.
Berbeda
dengan teman sebayanya yang senang bermain di time zone atau berjalan-jalan di
mall, ia malah memilih terminal sebagai tempat hiburannya. Sambil mengayuh
sepedanya, ia bersiul kecil di tengah hiruk pikuk kendaraan kota. Setelah
sampai di tujuan, ia duduk di sebuah kursi panjang tempat biasanya orang
menunggu datangnya bus.
“esnya satu, bang!” seru Fulan pada abang
penjual es yang sedang nongkrong tak jauh dari tempatnya.
Sebuah kantong plastik berisikan es berwarna
merah muda sudah di tangan Fulan. “makasih..berapa nih, bang?” tanya Fulan.
“seribu, neng.” Jawab abang penjual es.
Setelah membayar es tadi, disedotnya es
tersebut dengan rakusnya. Ia tampak begitu haus usai mengayuh sepeda. Fulan,
gadis kecil yang sedikit tomboy itu memperhatikan setiap aktivitas di terminal.
Ia mengamati orang-orang yang turun dari bus sambil membawa banyak barang.
Kemudian pandangannya beralih kea rah anak-anak yang pedagang asongan yang
tengah sibuk menjajakan dagangannya kepada para penumpang yang turun dari bus.
Hati Fulan miris melihat mereka yang kebanyakan sebaya dengannya tetapi sudah
bekerja seperti itu. Fulan berjanji dalam hati tidak akan menyia-nyiakan
sekolahnya.
Seorang anak laki-laki tiba-tiba duduk di
sebelahnya sambil menjilat es krim. Fulan mengamatinya dari atas ke bawah, anak
itu pasti anak orang kaya. Terlihat dari penampilannya yang serba bagus.
“ngapain lihat-lihat? Mau?” kata anak itu
sambil menyodorkan es krimnya kepada Fulan.
Fulan menggeleng.
“trus, kenapa lihat aku?” tanya anak itu
polos.
“engga apa-apa. Ngapain kamu di sini?” Fulan
balik bertanya.
“nungguin papaku. Kamu sendiri ngapain disini,bolos
yah?” selidik anak itu.
“engga! Aku emang sering main disini tau” kata
Fulan, sesekali melihat kea rah bus. “namamu siapa? kamu sekolah di mana?
“Gilang. Aku sekolah di SD 3” jawabnya sambil
menjilat es krim.
“wow, itu kan sekolah yang isinya anak orang
kaya semua. Kamu beruntung yah bisa sekolah di sana. Pasti kamu orang kaya deh.
sepatumu aja bagus banget” ujar Fulan mengamati sepatu Gilang yang nampak bagus
sekali.
“iya, papaku orang kaya banget. Aku juga mau
jadi kaya seperti papa”
Sejenak fulan kembali menatap wajah Gilang
yang terlihat masih sebaya dengannya. “sombong banget nih orang” batinnya.
“emang papamu kerja di mana sih?” selidik
Fulan penasaran.
“di sini” jawab Gilang.
“di terminal?”
“iya, papaku jadi supir bus. Aku nunggui papa
untuk makan siang bareng” jawab Gilang masih dengan kepolosannya.
Mendengar pernyataan dari Gilang, Fulan
menjadi bingung dibuatnya. “aku kira papamu kerja di perusahaan gitu atau jadi
pengusaha yang banyak uangnya. Ternyata jadi supir bus bisa bikin kita kaya
juga ya?” tanya Fulan makin penasaran.
Gilang melirik Fulan. “bisa dong. Kata papaku,
apapun pekerjaan kita mesti di syukuri. Yang penting halal tau. Kata papa lagi,
orang yang paling kaya di dunia ini adalah orang yang selalu merasa bersyukur
dengan rezeki yang dikasi sama Allah” tutur Gilang. ”papaku engga pernah merasa
kekurangan. Papa pengen aku jadi orang besar kelak makanya papa selalu kasi
yang terbaik buat aku termasuk sekolah di sekolah unggulan” tambahnya.
Fulan mencerna ucapan Gilang barusan, ia ingin
melihat seperti apa sosok papa Gilang. Saat itu juga Gilang berteriak memanggil
papanya. Kemudian seorang lelaki berpostur tubuh tinggi dan kelihatan masih
muda berjalan ke arah mereka. Ia nampak begitu rapi meskipun peluh terlihat
menghiasi wajahnya.
“papaaa…” Gilang bangkit dari kursi lalu
memeluknya papanya.
“sudah lama nunggu, nak?” tanya lelaki itu
lembut.
“engga kok, pa. yuk kita makan pa, Gilang udah
laper nih” rengek Gilang manja.
“iya..sabar, nak” ucap lelaki itu menenangkan
Gilang. “lho, ada temennya ya? Halo, namanya siapa, nak?” sapa lelaki itu pada
Fulan.
“Fulan, om..” jawab Fulan sambil menyalami
tangan papa Gilang.
“udah pulang sekolah ya? Yuk sekalian makan
siang bareng om dan Gilang” ajaknya.
“ehm..engga usah, om. Makasih. Fulan makan di
rumah aja nanti”
“hoo ya udah. Jangan keluyuran yah, nanti
orang tuamu nyari lho” kata lelaki itu ramah. “ya udah om sama Gilang pergi
dulu yah”
“iya, om..” jawab Fulan seraya tersenyum.
Gilang dan papanya pun beranjak dari tempat
itu. Gilang melambaikan tangan pada Fulan yang masih duduk sambil menyeka
keringat di dahinya. Fulan merenungkan kembali perkataan Gilang yang bercerita
tentang papanya yang katanya orang yang sangat kaya. Ia cukup dibuat kagum dengan
sosok papa Gilang.
Fulan
menengadah ke langit, rupanya matahari sudah mulai bangkit dari kesuraman pagi
tadi. Sinarnya mulai terasa panas membakar kulit hingga beberapa kali Fulan
menyeka keringat di dahi dan lehernya. Dari depan nampak suasana sudah sangat
ramai, pedagang asongan pun juga bertambah jumlahnya. Dari keramaian itu, Fulan
melihat seorang pemuda berkumis dan rambutnya acak-acakan merampas tas milik
seorang wanita yang tengah berdiri di depannya. Wanita tersebut berteriak
histeris, “toloooong…copeeet, toloooong!!” teriaknya sambil berusaha mengejar
pemuda itu. Suasana di depan Fulan makin ramai oleh orang-orang yang
mengerumuni wanita itu. Orang-orang tersebut berlarian mengejar pencopet yang
telah lari menerobos apa saja di depannya. Sambil membuang bungkusan esnya,
Fulan memperhatikan kemana arah pencopet itu lari. Dengan gesit ia langsung
naik ke sepeda dan dikayuhnya dengan
cepat ke arah larinya pencopet itu.
Nafas Fulan mulai terengah-engah, tapi ia
masih bersemangat mengejar pencopet itu. “ish, cepet banget sih larinya tuh
copet” gerutu Fulan. Ia lalu mengambil jalan pintas agar cepat menyusul lari
pencopet itu. Dari usahanya tersebut, ia berhasil muncul di hadapan pencopet
itu di dalam sebuah gang sempit yang sepi. Fulan menatap pencopet itu dengan
mimik wajah marah.
“heh, bocah. Minggir lu!!” tegur pencopet itu
dengan mimik wajah panik.
“engga mau, kembaliin dong tas ibu tadi. Dosa
lho, bang.” Fulan dengan polosnya menceramahi pencopet tadi.
“eh tau apa lu bocah. Sono, kalau mau ceramah
di mesjid. Minggir!!” pencopet tersebut mendorong sepeda Fulan hingga terjatuh.
Fulan ikut terjatuh dan seragamnya kotor oleh
tanah. Ia geram telah diperlakukan seperti itu. Diambilnya batu lalu
dilemparkan ke punggung pencopet tadi.
Spontan pencopet itu menoleh sambil mengumpat Fulan.
“sialan nih bocah. Heh, cari mati lu?!”
umpatnya kasar.
“kenapa abang dorong sepedaku. Ini tuh mahal
tau. Emang abang bisa ganti apa?” sahut Fulan sambil meletakkan kedua tangannya
di pinggang.
“halah banyak bacot lu bocah. Heh, gue kasi
tau ya, elu bocah ingusan engga usah cari masalah ama gue. Lu masih kecil,
engga tau apa-apa. Sana balik ama emak lu!” ujar pencopet itu kesal.
“ih abang engga pernah sekolah ya? Kok
ngomongnya kasar. Abang engga pernah diajarin sama orang tuanya ya kalau
ngomong sama orang tuh harus sopan.”
Ujar Fulan polos.
“kurang ajar dah ni bocah. Gini-gini gue juga
pernah sekolah. Elu mendingan belajar yang bener, jangan sok pinter deh”
“waktu abang sekolah ada mata pelajaran nyopet
ya. Kok aku engga ada, bang?
Pencopet menggaruk-garuk kepalanya. “engga ada
sih. Ah ngapain sih lu banyak tanya. Ini tuh buat makan. Gue bisa mati kalo
engga makan, lu tau engga itu”
“trus kok aku engga mati waktu puasa? Kan
puasa itu engga makan juga”
“astagaaaa…lama-lama gue bejek juga ni curut.
Auk ah, bodo amat sama elu” bentak pencopet itu lalu beranjak dari hadapan
Fulan dengan cepat.
Saat membalikkan tubuhnya, pencopet tersebut
telah dikepung oleh warga yang tengah mengejarnya tadi. Rupanya ide Fulan
berhasil mencegah pencopet itu lari lebih jauh lagi. fulan sengaja mengajak pencopet
itu mengobrol agar pikirannya teralihkan dari niatnya untuk kabur. Melihat
warga telah mengepungnya, pencopet itu tidak berkutik. Ia memohon-mohon kepada
warga agar tidak membawanya ke kantor polisi.
“ampun, pak..ampuuun. tolong jangan bawa saja
ke kantor polisi” kata pencopet itu mengiba.
“halah, yuk kita hajar aja nih copet!” seru
salah satu warga yang amarahnya mulai memuncak.
“jangan! Bawa saja dia ke kantor polisi. Kita
engga boleh main main hakim sendiri” tutur salah seorang bapak dengan bijak.
“eh, bang. Siniin dong tasnya” sahut Fulan
sambil merebut tas dari tangan pencopet.
“gara-gara elu ngajak gue ngobrol, sekarang
gini kan jadinya. Awas lu bocah” bisik pencopet itu geram.
Fulan membalasnya dengan tertawa lebar lalu
menyerahkan tas tadi kepada warga untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
“wah, hebat kamu dik. Makasih ya atas
bantuannya” sanjung salah seorang warga.
“iya, nih anak siapa sih? Orang tuamu pasti
bangga punya anak seperti kamu, dik” sanjung yang lainnya.
“eng..hmm” Fulan hanya memainkan roknya sambil
menatap para warga yang sedang menyiraminya dengan sanjungan.
Lalu salah satu warga tiba-tiba memberi Fulan
sejumlah uang. “nih buat jajan ya, dek”
“engga usah, pak. Aku engga merasa berjasa
kok, cuma kebetulan aja lewat sini jadi..gini” jawab Fulan malu.
“ah, adik ini bohong. Terima aja, dik. Tadi
bapak lihat usaha kamu mencegah pencopet ini untuk kabur. Nih, ayo terima. Adik
berhak menerimanya” ujar bapak itu sambil menyerahkan uang kepada Fulan.
Fulan tak dapat menolak lagi. Diraihnya uang itu dengan segan sambil
mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia pamit pulang pada warga dan
menyunggingkan senyum terakhir untuk sang pencopet. “sabar yah, bang. Dipenjara
tuh enak lho, makan gratis..hehehe.Fulan pulang dulu, dadaaah”
Pencopet itu memelototi Fulan yang tengah naik
di atas sepedanya.
Saat pulang ke rumah, ayah dan ibu Fulan sudah
bersiap di depan pintu. “darimana saja kamu? Ini lagi, kenapa seragam kamu kotor
gini?” selidik ayahnya.
“kamu engga liat sekarang jam berapa?” tambah
ibunya.
“anu yah, tadi habis ngejar copet trus jatuh”
jawab Fulan apa adanya.
Ayah dan ibunya saling berpandangan. “kalo
bikin alasan tuh yang logis, sayang.. anak sekecil kamu mana bisa ngelakuin
itu. Yauda sana, mandi habis itu makan dan belajar. Cepetan sana!” perintah
ibunya.
“dasar anak ini, selalu saja bikin ulah.”
Tambah ayahnya.
Fulan tak dapat membantah lagi. Ia merasa
hanya sia-sia belaka jika ia terus bicara karena ucapannya hampir tak pernah
mereka percayai. Ia menyeka air mata yang tiba-tiba meleleh di atas pipinya
sambil berjalan menuju kamar.