Saturday 26 January 2013

CILIK VS LICIK


4.jpgCILIK vs LICIK
“mumpung hari ini pulang cepet, main ke terminal lagi ah..” kata Fulan gembira.

            Langit tak begitu cerah hari ini, meskipun demikian tak mengurungkan niat Fulan untuk berjalan-jalan kemana pun ia inginkan. Walaupun ia masih berusia 11 tahun, ia sudah berani bepergian tanpa orang tua. Kebetulan hari ini sekolah memulangkan para muridnya lebih awal karena ada rapat guru.
 Berbeda dengan teman sebayanya yang senang bermain di time zone atau berjalan-jalan di mall, ia malah memilih terminal sebagai tempat hiburannya. Sambil mengayuh sepedanya, ia bersiul kecil di tengah hiruk pikuk kendaraan kota. Setelah sampai di tujuan, ia duduk di sebuah kursi panjang tempat biasanya orang menunggu datangnya bus. 

“esnya satu, bang!” seru Fulan pada abang penjual es yang sedang nongkrong tak jauh dari tempatnya.
Sebuah kantong plastik berisikan es berwarna merah muda sudah di tangan Fulan. “makasih..berapa nih, bang?” tanya Fulan. “seribu, neng.” Jawab abang penjual es. 

Setelah membayar es tadi, disedotnya es tersebut dengan rakusnya. Ia tampak begitu haus usai mengayuh sepeda. Fulan, gadis kecil yang sedikit tomboy itu memperhatikan setiap aktivitas di terminal. Ia mengamati orang-orang yang turun dari bus sambil membawa banyak barang. Kemudian pandangannya beralih kea rah anak-anak yang pedagang asongan yang tengah sibuk menjajakan dagangannya kepada para penumpang yang turun dari bus. Hati Fulan miris melihat mereka yang kebanyakan sebaya dengannya tetapi sudah bekerja seperti itu. Fulan berjanji dalam hati tidak akan menyia-nyiakan sekolahnya.
Seorang anak laki-laki tiba-tiba duduk di sebelahnya sambil menjilat es krim. Fulan mengamatinya dari atas ke bawah, anak itu pasti anak orang kaya. Terlihat dari penampilannya yang serba bagus. 

“ngapain lihat-lihat? Mau?” kata anak itu sambil menyodorkan es krimnya kepada Fulan.
Fulan menggeleng.
“trus, kenapa lihat aku?” tanya anak itu polos.
“engga apa-apa. Ngapain kamu di sini?” Fulan balik bertanya.
“nungguin papaku. Kamu sendiri ngapain disini,bolos yah?” selidik anak itu.
“engga! Aku emang sering main disini tau” kata Fulan, sesekali melihat kea rah bus. “namamu siapa? kamu sekolah di mana?
“Gilang. Aku sekolah di SD 3” jawabnya sambil menjilat es krim.
“wow, itu kan sekolah yang isinya anak orang kaya semua. Kamu beruntung yah bisa sekolah di sana. Pasti kamu orang kaya deh. sepatumu aja bagus banget” ujar Fulan mengamati sepatu Gilang yang nampak bagus sekali.
“iya, papaku orang kaya banget. Aku juga mau jadi kaya seperti papa”
Sejenak fulan kembali menatap wajah Gilang yang terlihat masih sebaya dengannya. “sombong banget nih orang” batinnya.
“emang papamu kerja di mana sih?” selidik Fulan penasaran.
“di sini” jawab Gilang.
“di terminal?”
“iya, papaku jadi supir bus. Aku nunggui papa untuk makan siang bareng” jawab Gilang masih dengan kepolosannya.

Mendengar pernyataan dari Gilang, Fulan menjadi bingung dibuatnya. “aku kira papamu kerja di perusahaan gitu atau jadi pengusaha yang banyak uangnya. Ternyata jadi supir bus bisa bikin kita kaya juga ya?” tanya Fulan makin penasaran.

Gilang melirik Fulan. “bisa dong. Kata papaku, apapun pekerjaan kita mesti di syukuri. Yang penting halal tau. Kata papa lagi, orang yang paling kaya di dunia ini adalah orang yang selalu merasa bersyukur dengan rezeki yang dikasi sama Allah” tutur Gilang. ”papaku engga pernah merasa kekurangan. Papa pengen aku jadi orang besar kelak makanya papa selalu kasi yang terbaik buat aku termasuk sekolah di sekolah unggulan” tambahnya.

Fulan mencerna ucapan Gilang barusan, ia ingin melihat seperti apa sosok papa Gilang. Saat itu juga Gilang berteriak memanggil papanya. Kemudian seorang lelaki berpostur tubuh tinggi dan kelihatan masih muda berjalan ke arah mereka. Ia nampak begitu rapi meskipun peluh terlihat menghiasi wajahnya.

“papaaa…” Gilang bangkit dari kursi lalu memeluknya papanya.
“sudah lama nunggu, nak?” tanya lelaki itu lembut.
“engga kok, pa. yuk kita makan pa, Gilang udah laper nih” rengek Gilang manja.
“iya..sabar, nak” ucap lelaki itu menenangkan Gilang. “lho, ada temennya ya? Halo, namanya siapa, nak?” sapa lelaki itu pada Fulan.
“Fulan, om..” jawab Fulan sambil menyalami tangan papa Gilang.
“udah pulang sekolah ya? Yuk sekalian makan siang bareng om dan Gilang” ajaknya.
“ehm..engga usah, om. Makasih. Fulan makan di rumah aja nanti”
“hoo ya udah. Jangan keluyuran yah, nanti orang tuamu nyari lho” kata lelaki itu ramah. “ya udah om sama Gilang pergi dulu yah”
“iya, om..” jawab Fulan seraya tersenyum.

Gilang dan papanya pun beranjak dari tempat itu. Gilang melambaikan tangan pada Fulan yang masih duduk sambil menyeka keringat di dahinya. Fulan merenungkan kembali perkataan Gilang yang bercerita tentang papanya yang katanya orang yang sangat kaya. Ia cukup dibuat kagum dengan sosok papa Gilang. 

            Fulan menengadah ke langit, rupanya matahari sudah mulai bangkit dari kesuraman pagi tadi. Sinarnya mulai terasa panas membakar kulit hingga beberapa kali Fulan menyeka keringat di dahi dan lehernya. Dari depan nampak suasana sudah sangat ramai, pedagang asongan pun juga bertambah jumlahnya. Dari keramaian itu, Fulan melihat seorang pemuda berkumis dan rambutnya acak-acakan merampas tas milik seorang wanita yang tengah berdiri di depannya. Wanita tersebut berteriak histeris, “toloooong…copeeet, toloooong!!” teriaknya sambil berusaha mengejar pemuda itu. Suasana di depan Fulan makin ramai oleh orang-orang yang mengerumuni wanita itu. Orang-orang tersebut berlarian mengejar pencopet yang telah lari menerobos apa saja di depannya. Sambil membuang bungkusan esnya, Fulan memperhatikan kemana arah pencopet itu lari. Dengan gesit ia langsung naik ke sepeda dan dikayuhnya  dengan cepat ke arah larinya pencopet itu. 

Nafas Fulan mulai terengah-engah, tapi ia masih bersemangat mengejar pencopet itu. “ish, cepet banget sih larinya tuh copet” gerutu Fulan. Ia lalu mengambil jalan pintas agar cepat menyusul lari pencopet itu. Dari usahanya tersebut, ia berhasil muncul di hadapan pencopet itu di dalam sebuah gang sempit yang sepi. Fulan menatap pencopet itu dengan mimik wajah marah.

“heh, bocah. Minggir lu!!” tegur pencopet itu dengan mimik wajah panik.
“engga mau, kembaliin dong tas ibu tadi. Dosa lho, bang.” Fulan dengan polosnya menceramahi pencopet tadi.
“eh tau apa lu bocah. Sono, kalau mau ceramah di mesjid. Minggir!!” pencopet tersebut mendorong sepeda Fulan hingga terjatuh.
Fulan ikut terjatuh dan seragamnya kotor oleh tanah. Ia geram telah diperlakukan seperti itu. Diambilnya batu lalu dilemparkan ke punggung pencopet tadi.  Spontan pencopet itu menoleh sambil mengumpat Fulan.
“sialan nih bocah. Heh, cari mati lu?!” umpatnya kasar.
“kenapa abang dorong sepedaku. Ini tuh mahal tau. Emang abang bisa ganti apa?” sahut Fulan sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“halah banyak bacot lu bocah. Heh, gue kasi tau ya, elu bocah ingusan engga usah cari masalah ama gue. Lu masih kecil, engga tau apa-apa. Sana balik ama emak lu!” ujar pencopet itu kesal.
“ih abang engga pernah sekolah ya? Kok ngomongnya kasar. Abang engga pernah diajarin sama orang tuanya ya kalau ngomong sama  orang tuh harus sopan.” Ujar Fulan polos.
“kurang ajar dah ni bocah. Gini-gini gue juga pernah sekolah. Elu mendingan belajar yang bener, jangan sok pinter deh”
“waktu abang sekolah ada mata pelajaran nyopet ya. Kok aku engga ada, bang?
Pencopet menggaruk-garuk kepalanya. “engga ada sih. Ah ngapain sih lu banyak tanya. Ini tuh buat makan. Gue bisa mati kalo engga makan, lu tau engga itu”
“trus kok aku engga mati waktu puasa? Kan puasa itu engga makan juga”
“astagaaaa…lama-lama gue bejek juga ni curut. Auk ah, bodo amat sama elu” bentak pencopet itu lalu beranjak dari hadapan Fulan dengan cepat.

Saat membalikkan tubuhnya, pencopet tersebut telah dikepung oleh warga yang tengah mengejarnya tadi. Rupanya ide Fulan berhasil mencegah pencopet itu lari lebih jauh lagi. fulan sengaja mengajak pencopet itu mengobrol agar pikirannya teralihkan dari niatnya untuk kabur. Melihat warga telah mengepungnya, pencopet itu tidak berkutik. Ia memohon-mohon kepada warga agar tidak membawanya ke kantor polisi.

“ampun, pak..ampuuun. tolong jangan bawa saja ke kantor polisi” kata pencopet itu mengiba.
“halah, yuk kita hajar aja nih copet!” seru salah satu warga yang amarahnya mulai memuncak.
“jangan! Bawa saja dia ke kantor polisi. Kita engga boleh main main hakim sendiri” tutur salah seorang bapak dengan bijak.
“eh, bang. Siniin dong tasnya” sahut Fulan sambil merebut tas dari tangan pencopet.
“gara-gara elu ngajak gue ngobrol, sekarang gini kan jadinya. Awas lu bocah” bisik pencopet itu geram.
Fulan membalasnya dengan tertawa lebar lalu menyerahkan tas tadi kepada warga untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
“wah, hebat kamu dik. Makasih ya atas bantuannya” sanjung salah seorang warga.
“iya, nih anak siapa sih? Orang tuamu pasti bangga punya anak seperti kamu, dik” sanjung yang lainnya.
“eng..hmm” Fulan hanya memainkan roknya sambil menatap para warga yang sedang menyiraminya dengan sanjungan.
Lalu salah satu warga tiba-tiba memberi Fulan sejumlah uang. “nih buat jajan ya, dek”
“engga usah, pak. Aku engga merasa berjasa kok, cuma kebetulan aja lewat sini jadi..gini” jawab Fulan malu.
“ah, adik ini bohong. Terima aja, dik. Tadi bapak lihat usaha kamu mencegah pencopet ini untuk kabur. Nih, ayo terima. Adik berhak menerimanya” ujar bapak itu sambil menyerahkan uang kepada Fulan.

Fulan tak dapat menolak  lagi. Diraihnya uang itu dengan segan sambil mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia pamit pulang pada warga dan menyunggingkan senyum terakhir untuk sang pencopet. “sabar yah, bang. Dipenjara tuh enak lho, makan gratis..hehehe.Fulan pulang dulu, dadaaah” 

Pencopet itu memelototi Fulan yang tengah naik di atas sepedanya. 

Saat pulang ke rumah, ayah dan ibu Fulan sudah bersiap di depan pintu. “darimana saja kamu? Ini lagi, kenapa seragam kamu kotor gini?” selidik ayahnya.

“kamu engga liat sekarang jam berapa?” tambah ibunya.
“anu yah, tadi habis ngejar copet trus jatuh” jawab Fulan apa adanya.
Ayah dan ibunya saling berpandangan. “kalo bikin alasan tuh yang logis, sayang.. anak sekecil kamu mana bisa ngelakuin itu. Yauda sana, mandi habis itu makan dan belajar. Cepetan sana!” perintah ibunya.
“dasar anak ini, selalu saja bikin ulah.” Tambah ayahnya.
Fulan tak dapat membantah lagi. Ia merasa hanya sia-sia belaka jika ia terus bicara karena ucapannya hampir tak pernah mereka percayai. Ia menyeka air mata yang tiba-tiba meleleh di atas pipinya sambil berjalan menuju kamar.

Thursday 24 January 2013

HANIKA

Aku bahkan tidak mengerti mengapa ini terjadi padaku. Apakah ini hanya mimpi yang tak berkesudahan? Ataukah ini hanya hasil dari sekian juta imajinasi yang kuciptakan? Entahlah, ini benar-benar terjadi padaku.
Aku bertemu dengannya saat penyuluhan kesehatan di aula sekolah. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Aku tengah serius mendengar penyuluhan dari salah seorang dokter muda ketika ia tak sengaja menyenggol lenganku.
“Eh, maaf.” Ia meminta maaf padaku dengan mimik wajah bersalah. Aku hanya meresponnya dengan tersenyum tanpa berkata-kata. Yah, aku memang tipe cowok yang tidak banyak bicara. Bahkan ada seorang teman yang mengataiku bisu. Keterlaluan.

Ditengah-tengah penyuluhan, tiba-tiba ia menyapaku ramah.  “Hai, maaf, ya tadi. Namaku Hanika. Boleh aku tahu namamu?”

Aku melirik ke arahnya yang telah siap menjabat tanganku. “Wildan,” jawabku sambil menjabat tangannya.

“Kamu di kelas mana? Kok aku enggak pernah lihat kamu, sih?”

“XI IPA 1. Jarang keluar kelas,” jawabku datar.

“Wah, itu kan kelas unggulan. Berarti kamu pinter, dong. Aku di kelas XI IPA 5. Kapan-kapan boleh nih belajar sama kamu, Wil? Yah yah!” pinta gadis berambut panjang itu tampak bersemangat sekali.

Sesaat aku terdiam merenenungkan permintaannya, sampai akhirnya ia menegurku pelan. 

“Hei, kok diem?  Enggak mau, ya?” Raut cantiknya berubah suram.

Aku hanya mengiyakan permintaan gadis yang baru saja kukenal itu. Sebenarnya aku tak terbiasa mengajar seseorang, tapi aku harap keputusanku ini bisa merubah sedikit kehidupanku yang nyaris seperti manusia antisosial. Usai bertukaran nomor handphone, kami kembali mendengar penyuluhan dari dokter. 

===
Sejak pertemuan di aula hari itu, kami tak pernah bertemu lagi. Aku bahkan sudah lupa seperti apa wajahnya. Ia juga tak pernah mengirimkan SMS ataupun menelpon padaku. Aku enggan memulai duluan, aku hanya menunggu sampai ia menghubungiku.
===
Sudah hampir seminggu berlalu, seorang gadis berambut panjang menghampiriku saat aku baru saja turun dari sepeda motor.

“Wil, maaf, yah. Waktu itu handphoneku jatuh dan rusak jadi enggak bisa nelpon kamu, deh. Aku juga udah berusaha nyari kamu di kelas tapi ada saja halangan, padahal aku pengen banget belajar bareng kamu…,” ujar gadis itu di depanku. Pikiranku kembali teringat saat bertemu seorang gadis di aula sekolah.

“Kamu yang di aula itu, kan?” tanyaku

“Iya, ini aku Hanika. Wah, sudah lupa, ya?” 

“Bukan begitu. Maaf sebelumnya, aku sulit mengingat seseorang apalagi hanya sekali bertemu” jelasku.

“Ah sudah, enggak apa-apa, kok. Oya, sana masuk kelas, gih. Bel udah hampir bunyi tuh,” katanya  membuka jalan untukku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapi ucapan gadis itu. Aku pun segera berjalan menuju  kelas, kulihat ia masih berdiri di tempat tadi sambil melamabaikan tangan padaku.
          Malam melukiskan sosok primadona yang selalu kurindupuja kehadirannya. Bulan, malam ini ia nampak mempesona sekali. Cahayanya terasa lembut menyentuh pipiku. Kubuka jendela agar sinarnya leluasa masuk menerangi kamarku yang lampunya sengaja kupadamkan. Sambil menengadah ke langit, aku terpikirkan untuk menghubungi Hanika. Bukan karena aku ingin sok kenal padanya, kebetulan aku tidak ada jadwal belajar malam ini, jadi kugunakan untuk bersantai. Kucari-cari nama Hanika di kontak handphone-ku dan segera kutelepon. Terdengar suara operator yang memberitahu bahwa nomor yang aku hubungi sedang tidak aktif. “Oh, iya, ya, tadi pagi kan dia bilang kalo handphone-nya rusak,” gumamku sambil meletakkan kembali handphone-ku.   Aku meregangkan otot-ototku yang  tegang karena masih lelah usai membersihkan kamar  tadi siang. Setelah menutup jendela dan tirai, aku berangkat menuju alam mimpi bersama bantal empuk yang selalu menemani tidurku.
          Kembali aku dihampiri Hanika saat memarkir sepeda motor. Rambut panjangnya masih terurai seperti kemarin. “Selamat pagi, Wildan,” sapanya ramah.
“Pagi…,” balasku singkat.

Handphone-mu masih rusak? Semalam aku hubungi nomermu enggak aktif,” selidikku.

“Ah, iya, Wil. Masih sementara diperbaiki. Mungkin beberapa hari lagi udah baik, kok.

“Kamu mau nelpon aku, ya? Hayooo…, hehehe,” godanya.

Aku berhasil dibuatnya malu, tapi aku berusaha untuk bersikap biasa saja. “iya, kebetulan semalam enggak ada jadwal belajar jadi pengen ngobrol sama kamu.”

“Ngeles, nih Wildan. Kangen, ya ,sama aku? Hahaha,” ia tertawa lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Cantik.

“Apaan, geer banget kamu,” balasku sambil sesekali ikut tertawa.

“Btw, kamu, kok enggak datang ke kelasku aja kalau mau belajar? Tiap hari nemuin aku di parkiran mulu.”

“Yah… banyak urusan akhir-akhir ini, Wil. Belajar barengnya ditunda dulu, yah, sampai urusanku selesai,” katanya.

“Yauda, deh. Aku masuk kelas dulu. Bye…,” kataku sambil berjalan menuju kelas
“Dadaah… sampai jumpa besok, Wil,” teriaknya.

          Setiap pagi di tempat yang sama, gadis itu selalu menghampiriku saat turun dari sepeda motor. Sapaan hangat terlukiskan di setiap lisannya. Keceriannya mulai mengusik pikiranku. Hanika, gadis itu tak pernah menampakkan kesedihan di hadapanku. Sampai akhirnya di suatu pagi seperti biasanya ia menghampiriku dengan candaan khasnya yang menggoda. Di tengah obrolan singkat kami, ia menyatakan cinta padaku dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku terkejut dibuatnya. Sungguh berani gadis ini. Sungguh sayang, aku sama sekali tidak merasakan hal yang sama terhadapnya. Tentu saja jika aku menolak, bisa jadi ia akan kecewa dan tak seceria ini lagi.

“Aku enggak setampan cowok-cowok lain, bahkan aku juga enggak sekeren anak-anak basket yang selalu di puja-puja para cewek. Bukannya merendah, tapi aku memikirkan kamu yang akan disangka aneh jika pacaraan sama aku,” ujarku berusaha membuatnya berubah pikiran.

“Aku enggak peduli, kamu jauh lebih keren dibanding mereka. Kamu berkharisma dan cerdas. Satu lagi, dan tentunya membuatku penasaran. Habisnya kamu misterius banget, sih, ngomong aja ala kadarnya.”

“Hehehe…, aku memang enggak banyak bicara, Han. Tapi kalau memang kamu yakin sama aku, baiklah aku mau jadi pacarmu. Semoga betah,” ujarku merendahkan diri.

“Wah! Serius, nih? Aaaa… asiiiik, makasih, Will. I love you..!” pekiknya kegirangan.

“Hehehe…,” aku hanya bisa tersenyum melihat wajah cerianya. Bagaimana bisa aku menghancurkan harapan gadis baik ini. Akh!

          Saat kelas pertama usai, Randi menghampiriku yang tengah asik membaca buku.

“Jujur nih, ya. Gue perhatiin akhir-akhir ini kayaknya lo sakit, deh,” ujarnya tiba-tiba.

“Maksud lo apa? Gue baik-baik aja, tuh,” jawabku datar.

“Beberapa hari ini gue sering liat lo senyum-senyum trus ketawa-ketawa sendiri kayak orang gila diparkiran. Kalau ada beban, cerita dong ke gue. Jangan bertingkah aneh seperti itu.”

“Lo yang aneh, datang-datang langsung ngatain gue  gila. Orang gue ketawa bareng Hanika,” kataku membela diri.

“Tuh, kan, makin gila. Siapee lagi tuh si Hanika? Jelas-jelas gue liat lo tiap hari di sono sendirian. Setiap hari selalu gitu. Gue baru berani negur lo sekarang biar lo sadar, Bro.”

Aku menutup buku lalu menatap Randi yang duduk di mejaku. “Gue yang gila apa lo, sih? Jelas-jelas tiap pagi tuh si Hanika bareng gue di parkiran. Mata lo bermasalah tu. Sana ngukur kacamata!” kataku mulai kesal.

“Terserah lo, deh. Gue cuma prihatin sama lo, Wil. Sakit lo, Men”, kata Randi beranjak dari meja.

          Aku memikirkan lagi ucapan Randi barusan. Aku menganggap Randi sedang stress pasca perceraian orang tuanya. Ia memang banyak bertingkah aneh dan cara bicaranya ceplas-ceplos. Mumpung istirahat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Hanika, gadis yang baru saja menjadi pacarku meskipun aku sama sekali tidak mencintainya.

“Eh, maaf mo tanya, nih. Hanika ada di kelas?” tanyaku pada salah seorang teman kelas Hanika.

“Hanika? Disini enggak ada siswi yang namanya Hanika. Salah kelas kali,” jawabnya.
Aku melihat papan nama kelas di atas pintu dan benar ini adalah kelas yang diberitahu Hanika tempo hari. “Serius, nih? Aku ada perlu nih sama dia, tolong panggilin bentar yah,” pintaku

“Seriuuuus! Disini enggak ada yang namanya Hanika. Dibilangin enggak percaya, ih,” kata orang itu lalu masuk kelas dengan wajah kesal.

“Hanika bohong?” gumamku dalam hati yang penuh rasa kecewa.

“Nak, cari Hanika? Enggak salah?” tiba-tiba saja Pak Hasan, seorang penjaga sekolah sudah berdiri di belakangku.

“Maksud bapak? Memangnya ada yang salah?” selidikku penasaran.

Pak Hasan lalu mengajakku duduk dan mengobrol. Ia menceritakan bahwa Hanika itu adalah arwah penasaran yang menghuni sekolah ini. Dulu ia adalah salah satu siswi di sekolah ini dan menempati kelas XI IPA 5. Namun, ia dikabarkan telah meninggal dunia akibat menggantung dirinya pada pohon yang berada di halaman belakang sekolah yang memang sangat sepi. Seorang sahabatnya yang dimintai keterangan mengatakan bahwa Hanika depresi karena tak bisa menikmati masa remajanya dengan leluasa. Ia dikekang oleh kedua orang tuanya, bahkan untuk mendatangkan teman cowok di rumahnya untuk belajar bersama saja tidak diperbolehkan. Ia akan dipukul oleh ayahnya jika kedapatan diantar oleh seorang teman cowoknya. Ia mempunyai keinginan untuk merasakan pacaran dengan seorang cowok yang ia sukai, tapi rupanya semua cowok di sekolah  ini sudah tahu seperti apa ayah Hanika dan tidak satupun dari mereka yang berani menjalin hubungan dengannya. Saking depresinya akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
Usai mendengar cerita Pak Hasan, aku merasa shock. Aku belum percaya atas apa yang aku dengar. “Setiap hari dia selalu datang ke saya, Pak. Saya enggak tahu kalau ternyata Hanika…,” aku tak dapat melanjutkan ucapanku.

“Benarkah? Wajarlah, dia masih penasaran karena ingin mempunyai pacar. Kasihan juga dengan anak itu. Tapi berdoa saja agar arwahnya bisa tenang dan tidak gentayangan lagi,” kata Pak Hasan bijak.
          Keesokan harinya, tak nampak Hanika yang selalu menghampiriku saat memarkir sepeda motor. Aku langsung saja masuk kelas dan mendapati secarik kertas tergeletak di atas meja. Di atasnya tertuliskan sesuatu, “Wildan, karena kamu, aku bisa tenang sekarang. Aku tidak bisa lagi menyambutmu di parkiran setiap pagi. Terima kasih telah menerima cintaku. Hanika.”
Hatiku merasa tak karuan dan cepat-cepat menyimpan kertas itu ke dalam tas. Sebuah sosok perempuan berambut panjang terlihat tengah tersenyum dari balik jendela kelas.
“Aku akan merindukanmu, Hanika,” gumamku dengan mata berkaca-kaca.