Thursday, 24 January 2013

HANIKA

Aku bahkan tidak mengerti mengapa ini terjadi padaku. Apakah ini hanya mimpi yang tak berkesudahan? Ataukah ini hanya hasil dari sekian juta imajinasi yang kuciptakan? Entahlah, ini benar-benar terjadi padaku.
Aku bertemu dengannya saat penyuluhan kesehatan di aula sekolah. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Aku tengah serius mendengar penyuluhan dari salah seorang dokter muda ketika ia tak sengaja menyenggol lenganku.
“Eh, maaf.” Ia meminta maaf padaku dengan mimik wajah bersalah. Aku hanya meresponnya dengan tersenyum tanpa berkata-kata. Yah, aku memang tipe cowok yang tidak banyak bicara. Bahkan ada seorang teman yang mengataiku bisu. Keterlaluan.

Ditengah-tengah penyuluhan, tiba-tiba ia menyapaku ramah.  “Hai, maaf, ya tadi. Namaku Hanika. Boleh aku tahu namamu?”

Aku melirik ke arahnya yang telah siap menjabat tanganku. “Wildan,” jawabku sambil menjabat tangannya.

“Kamu di kelas mana? Kok aku enggak pernah lihat kamu, sih?”

“XI IPA 1. Jarang keluar kelas,” jawabku datar.

“Wah, itu kan kelas unggulan. Berarti kamu pinter, dong. Aku di kelas XI IPA 5. Kapan-kapan boleh nih belajar sama kamu, Wil? Yah yah!” pinta gadis berambut panjang itu tampak bersemangat sekali.

Sesaat aku terdiam merenenungkan permintaannya, sampai akhirnya ia menegurku pelan. 

“Hei, kok diem?  Enggak mau, ya?” Raut cantiknya berubah suram.

Aku hanya mengiyakan permintaan gadis yang baru saja kukenal itu. Sebenarnya aku tak terbiasa mengajar seseorang, tapi aku harap keputusanku ini bisa merubah sedikit kehidupanku yang nyaris seperti manusia antisosial. Usai bertukaran nomor handphone, kami kembali mendengar penyuluhan dari dokter. 

===
Sejak pertemuan di aula hari itu, kami tak pernah bertemu lagi. Aku bahkan sudah lupa seperti apa wajahnya. Ia juga tak pernah mengirimkan SMS ataupun menelpon padaku. Aku enggan memulai duluan, aku hanya menunggu sampai ia menghubungiku.
===
Sudah hampir seminggu berlalu, seorang gadis berambut panjang menghampiriku saat aku baru saja turun dari sepeda motor.

“Wil, maaf, yah. Waktu itu handphoneku jatuh dan rusak jadi enggak bisa nelpon kamu, deh. Aku juga udah berusaha nyari kamu di kelas tapi ada saja halangan, padahal aku pengen banget belajar bareng kamu…,” ujar gadis itu di depanku. Pikiranku kembali teringat saat bertemu seorang gadis di aula sekolah.

“Kamu yang di aula itu, kan?” tanyaku

“Iya, ini aku Hanika. Wah, sudah lupa, ya?” 

“Bukan begitu. Maaf sebelumnya, aku sulit mengingat seseorang apalagi hanya sekali bertemu” jelasku.

“Ah sudah, enggak apa-apa, kok. Oya, sana masuk kelas, gih. Bel udah hampir bunyi tuh,” katanya  membuka jalan untukku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapi ucapan gadis itu. Aku pun segera berjalan menuju  kelas, kulihat ia masih berdiri di tempat tadi sambil melamabaikan tangan padaku.
          Malam melukiskan sosok primadona yang selalu kurindupuja kehadirannya. Bulan, malam ini ia nampak mempesona sekali. Cahayanya terasa lembut menyentuh pipiku. Kubuka jendela agar sinarnya leluasa masuk menerangi kamarku yang lampunya sengaja kupadamkan. Sambil menengadah ke langit, aku terpikirkan untuk menghubungi Hanika. Bukan karena aku ingin sok kenal padanya, kebetulan aku tidak ada jadwal belajar malam ini, jadi kugunakan untuk bersantai. Kucari-cari nama Hanika di kontak handphone-ku dan segera kutelepon. Terdengar suara operator yang memberitahu bahwa nomor yang aku hubungi sedang tidak aktif. “Oh, iya, ya, tadi pagi kan dia bilang kalo handphone-nya rusak,” gumamku sambil meletakkan kembali handphone-ku.   Aku meregangkan otot-ototku yang  tegang karena masih lelah usai membersihkan kamar  tadi siang. Setelah menutup jendela dan tirai, aku berangkat menuju alam mimpi bersama bantal empuk yang selalu menemani tidurku.
          Kembali aku dihampiri Hanika saat memarkir sepeda motor. Rambut panjangnya masih terurai seperti kemarin. “Selamat pagi, Wildan,” sapanya ramah.
“Pagi…,” balasku singkat.

Handphone-mu masih rusak? Semalam aku hubungi nomermu enggak aktif,” selidikku.

“Ah, iya, Wil. Masih sementara diperbaiki. Mungkin beberapa hari lagi udah baik, kok.

“Kamu mau nelpon aku, ya? Hayooo…, hehehe,” godanya.

Aku berhasil dibuatnya malu, tapi aku berusaha untuk bersikap biasa saja. “iya, kebetulan semalam enggak ada jadwal belajar jadi pengen ngobrol sama kamu.”

“Ngeles, nih Wildan. Kangen, ya ,sama aku? Hahaha,” ia tertawa lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Cantik.

“Apaan, geer banget kamu,” balasku sambil sesekali ikut tertawa.

“Btw, kamu, kok enggak datang ke kelasku aja kalau mau belajar? Tiap hari nemuin aku di parkiran mulu.”

“Yah… banyak urusan akhir-akhir ini, Wil. Belajar barengnya ditunda dulu, yah, sampai urusanku selesai,” katanya.

“Yauda, deh. Aku masuk kelas dulu. Bye…,” kataku sambil berjalan menuju kelas
“Dadaah… sampai jumpa besok, Wil,” teriaknya.

          Setiap pagi di tempat yang sama, gadis itu selalu menghampiriku saat turun dari sepeda motor. Sapaan hangat terlukiskan di setiap lisannya. Keceriannya mulai mengusik pikiranku. Hanika, gadis itu tak pernah menampakkan kesedihan di hadapanku. Sampai akhirnya di suatu pagi seperti biasanya ia menghampiriku dengan candaan khasnya yang menggoda. Di tengah obrolan singkat kami, ia menyatakan cinta padaku dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku terkejut dibuatnya. Sungguh berani gadis ini. Sungguh sayang, aku sama sekali tidak merasakan hal yang sama terhadapnya. Tentu saja jika aku menolak, bisa jadi ia akan kecewa dan tak seceria ini lagi.

“Aku enggak setampan cowok-cowok lain, bahkan aku juga enggak sekeren anak-anak basket yang selalu di puja-puja para cewek. Bukannya merendah, tapi aku memikirkan kamu yang akan disangka aneh jika pacaraan sama aku,” ujarku berusaha membuatnya berubah pikiran.

“Aku enggak peduli, kamu jauh lebih keren dibanding mereka. Kamu berkharisma dan cerdas. Satu lagi, dan tentunya membuatku penasaran. Habisnya kamu misterius banget, sih, ngomong aja ala kadarnya.”

“Hehehe…, aku memang enggak banyak bicara, Han. Tapi kalau memang kamu yakin sama aku, baiklah aku mau jadi pacarmu. Semoga betah,” ujarku merendahkan diri.

“Wah! Serius, nih? Aaaa… asiiiik, makasih, Will. I love you..!” pekiknya kegirangan.

“Hehehe…,” aku hanya bisa tersenyum melihat wajah cerianya. Bagaimana bisa aku menghancurkan harapan gadis baik ini. Akh!

          Saat kelas pertama usai, Randi menghampiriku yang tengah asik membaca buku.

“Jujur nih, ya. Gue perhatiin akhir-akhir ini kayaknya lo sakit, deh,” ujarnya tiba-tiba.

“Maksud lo apa? Gue baik-baik aja, tuh,” jawabku datar.

“Beberapa hari ini gue sering liat lo senyum-senyum trus ketawa-ketawa sendiri kayak orang gila diparkiran. Kalau ada beban, cerita dong ke gue. Jangan bertingkah aneh seperti itu.”

“Lo yang aneh, datang-datang langsung ngatain gue  gila. Orang gue ketawa bareng Hanika,” kataku membela diri.

“Tuh, kan, makin gila. Siapee lagi tuh si Hanika? Jelas-jelas gue liat lo tiap hari di sono sendirian. Setiap hari selalu gitu. Gue baru berani negur lo sekarang biar lo sadar, Bro.”

Aku menutup buku lalu menatap Randi yang duduk di mejaku. “Gue yang gila apa lo, sih? Jelas-jelas tiap pagi tuh si Hanika bareng gue di parkiran. Mata lo bermasalah tu. Sana ngukur kacamata!” kataku mulai kesal.

“Terserah lo, deh. Gue cuma prihatin sama lo, Wil. Sakit lo, Men”, kata Randi beranjak dari meja.

          Aku memikirkan lagi ucapan Randi barusan. Aku menganggap Randi sedang stress pasca perceraian orang tuanya. Ia memang banyak bertingkah aneh dan cara bicaranya ceplas-ceplos. Mumpung istirahat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi Hanika, gadis yang baru saja menjadi pacarku meskipun aku sama sekali tidak mencintainya.

“Eh, maaf mo tanya, nih. Hanika ada di kelas?” tanyaku pada salah seorang teman kelas Hanika.

“Hanika? Disini enggak ada siswi yang namanya Hanika. Salah kelas kali,” jawabnya.
Aku melihat papan nama kelas di atas pintu dan benar ini adalah kelas yang diberitahu Hanika tempo hari. “Serius, nih? Aku ada perlu nih sama dia, tolong panggilin bentar yah,” pintaku

“Seriuuuus! Disini enggak ada yang namanya Hanika. Dibilangin enggak percaya, ih,” kata orang itu lalu masuk kelas dengan wajah kesal.

“Hanika bohong?” gumamku dalam hati yang penuh rasa kecewa.

“Nak, cari Hanika? Enggak salah?” tiba-tiba saja Pak Hasan, seorang penjaga sekolah sudah berdiri di belakangku.

“Maksud bapak? Memangnya ada yang salah?” selidikku penasaran.

Pak Hasan lalu mengajakku duduk dan mengobrol. Ia menceritakan bahwa Hanika itu adalah arwah penasaran yang menghuni sekolah ini. Dulu ia adalah salah satu siswi di sekolah ini dan menempati kelas XI IPA 5. Namun, ia dikabarkan telah meninggal dunia akibat menggantung dirinya pada pohon yang berada di halaman belakang sekolah yang memang sangat sepi. Seorang sahabatnya yang dimintai keterangan mengatakan bahwa Hanika depresi karena tak bisa menikmati masa remajanya dengan leluasa. Ia dikekang oleh kedua orang tuanya, bahkan untuk mendatangkan teman cowok di rumahnya untuk belajar bersama saja tidak diperbolehkan. Ia akan dipukul oleh ayahnya jika kedapatan diantar oleh seorang teman cowoknya. Ia mempunyai keinginan untuk merasakan pacaran dengan seorang cowok yang ia sukai, tapi rupanya semua cowok di sekolah  ini sudah tahu seperti apa ayah Hanika dan tidak satupun dari mereka yang berani menjalin hubungan dengannya. Saking depresinya akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.
Usai mendengar cerita Pak Hasan, aku merasa shock. Aku belum percaya atas apa yang aku dengar. “Setiap hari dia selalu datang ke saya, Pak. Saya enggak tahu kalau ternyata Hanika…,” aku tak dapat melanjutkan ucapanku.

“Benarkah? Wajarlah, dia masih penasaran karena ingin mempunyai pacar. Kasihan juga dengan anak itu. Tapi berdoa saja agar arwahnya bisa tenang dan tidak gentayangan lagi,” kata Pak Hasan bijak.
          Keesokan harinya, tak nampak Hanika yang selalu menghampiriku saat memarkir sepeda motor. Aku langsung saja masuk kelas dan mendapati secarik kertas tergeletak di atas meja. Di atasnya tertuliskan sesuatu, “Wildan, karena kamu, aku bisa tenang sekarang. Aku tidak bisa lagi menyambutmu di parkiran setiap pagi. Terima kasih telah menerima cintaku. Hanika.”
Hatiku merasa tak karuan dan cepat-cepat menyimpan kertas itu ke dalam tas. Sebuah sosok perempuan berambut panjang terlihat tengah tersenyum dari balik jendela kelas.
“Aku akan merindukanmu, Hanika,” gumamku dengan mata berkaca-kaca.

No comments:

Post a Comment