Aku bahkan tidak mengerti mengapa ini terjadi
padaku. Apakah ini hanya mimpi yang tak berkesudahan? Ataukah ini hanya hasil
dari sekian juta imajinasi yang kuciptakan? Entahlah, ini benar-benar terjadi
padaku.
Aku bertemu dengannya saat
penyuluhan kesehatan di aula sekolah. Kebetulan kami duduk bersebelahan. Aku
tengah serius mendengar penyuluhan dari salah seorang dokter muda ketika ia tak
sengaja menyenggol lenganku.
“Eh, maaf.” Ia meminta maaf
padaku dengan mimik wajah bersalah. Aku hanya meresponnya dengan tersenyum
tanpa berkata-kata. Yah, aku memang tipe cowok yang tidak banyak bicara. Bahkan
ada seorang teman yang mengataiku bisu. Keterlaluan.
Ditengah-tengah penyuluhan, tiba-tiba ia
menyapaku ramah. “Hai, maaf, ya tadi.
Namaku Hanika. Boleh aku tahu namamu?”
Aku melirik ke arahnya yang telah siap menjabat
tanganku. “Wildan,” jawabku sambil menjabat tangannya.
“Kamu di kelas mana? Kok aku enggak pernah lihat
kamu, sih?”
“XI IPA 1. Jarang keluar kelas,” jawabku datar.
“Wah, itu kan kelas unggulan. Berarti kamu pinter,
dong. Aku di kelas XI IPA 5. Kapan-kapan boleh nih belajar sama kamu, Wil? Yah
yah!” pinta gadis berambut panjang itu tampak bersemangat sekali.
Sesaat aku terdiam merenenungkan permintaannya, sampai
akhirnya ia menegurku pelan.
“Hei, kok diem?
Enggak mau, ya?” Raut cantiknya berubah suram.
Aku hanya mengiyakan permintaan gadis yang baru
saja kukenal itu. Sebenarnya aku tak terbiasa mengajar seseorang, tapi aku
harap keputusanku ini bisa merubah sedikit kehidupanku yang nyaris seperti
manusia antisosial. Usai bertukaran nomor handphone,
kami kembali mendengar penyuluhan dari dokter.
===
Sejak pertemuan di aula hari itu, kami tak pernah
bertemu lagi. Aku bahkan sudah lupa seperti apa wajahnya. Ia juga tak pernah
mengirimkan SMS ataupun menelpon padaku. Aku enggan memulai duluan, aku hanya
menunggu sampai ia menghubungiku.
===
Sudah hampir seminggu berlalu, seorang gadis
berambut panjang menghampiriku saat aku baru saja turun dari sepeda motor.
“Wil, maaf, yah. Waktu itu handphoneku jatuh dan rusak jadi enggak bisa nelpon kamu, deh. Aku
juga udah berusaha nyari kamu di kelas tapi ada saja halangan, padahal aku
pengen banget belajar bareng kamu…,” ujar gadis itu di depanku. Pikiranku
kembali teringat saat bertemu seorang gadis di aula sekolah.
“Kamu yang di aula itu, kan?” tanyaku
“Iya, ini aku Hanika. Wah, sudah lupa, ya?”
“Bukan begitu. Maaf sebelumnya, aku sulit
mengingat seseorang apalagi hanya sekali bertemu” jelasku.
“Ah sudah, enggak apa-apa, kok. Oya, sana masuk
kelas, gih. Bel udah hampir bunyi tuh,” katanya
membuka jalan untukku. Lagi-lagi aku hanya tersenyum menanggapi ucapan
gadis itu. Aku pun segera berjalan menuju
kelas, kulihat ia masih berdiri di tempat tadi sambil melamabaikan
tangan padaku.
Malam
melukiskan sosok primadona yang selalu kurindupuja kehadirannya. Bulan, malam
ini ia nampak mempesona sekali. Cahayanya terasa lembut menyentuh pipiku.
Kubuka jendela agar sinarnya leluasa masuk menerangi kamarku yang lampunya
sengaja kupadamkan. Sambil menengadah ke langit, aku terpikirkan untuk
menghubungi Hanika. Bukan karena aku ingin sok kenal padanya, kebetulan aku
tidak ada jadwal belajar malam ini, jadi kugunakan untuk bersantai. Kucari-cari
nama Hanika di kontak handphone-ku
dan segera kutelepon. Terdengar suara operator yang memberitahu bahwa nomor
yang aku hubungi sedang tidak aktif. “Oh, iya, ya, tadi pagi kan dia bilang
kalo handphone-nya rusak,” gumamku
sambil meletakkan kembali handphone-ku. Aku meregangkan otot-ototku yang tegang karena masih lelah usai membersihkan
kamar tadi siang. Setelah menutup
jendela dan tirai, aku berangkat menuju alam mimpi bersama bantal empuk yang
selalu menemani tidurku.
Kembali
aku dihampiri Hanika saat memarkir sepeda motor. Rambut panjangnya masih
terurai seperti kemarin. “Selamat pagi, Wildan,” sapanya ramah.
“Pagi…,” balasku singkat.
“Handphone-mu
masih rusak? Semalam aku hubungi nomermu enggak aktif,” selidikku.
“Ah, iya, Wil. Masih sementara diperbaiki.
Mungkin beberapa hari lagi udah baik, kok.
“Kamu mau nelpon aku, ya? Hayooo…, hehehe,”
godanya.
Aku berhasil dibuatnya malu, tapi aku berusaha
untuk bersikap biasa saja. “iya, kebetulan semalam enggak ada jadwal belajar
jadi pengen ngobrol sama kamu.”
“Ngeles, nih Wildan. Kangen, ya ,sama aku? Hahaha,”
ia tertawa lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Cantik.
“Apaan, geer banget kamu,” balasku sambil
sesekali ikut tertawa.
“Btw, kamu, kok enggak datang ke kelasku aja
kalau mau belajar? Tiap hari nemuin aku di parkiran mulu.”
“Yah… banyak urusan akhir-akhir ini, Wil. Belajar
barengnya ditunda dulu, yah, sampai urusanku selesai,” katanya.
“Yauda, deh. Aku masuk kelas dulu. Bye…,” kataku
sambil berjalan menuju kelas
“Dadaah… sampai jumpa besok, Wil,” teriaknya.
Setiap
pagi di tempat yang sama, gadis itu selalu menghampiriku saat turun dari sepeda
motor. Sapaan hangat terlukiskan di setiap lisannya. Keceriannya mulai mengusik
pikiranku. Hanika, gadis itu tak pernah menampakkan kesedihan di hadapanku.
Sampai akhirnya di suatu pagi seperti biasanya ia menghampiriku dengan candaan
khasnya yang menggoda. Di tengah obrolan singkat kami, ia menyatakan cinta
padaku dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku terkejut dibuatnya. Sungguh
berani gadis ini. Sungguh sayang, aku sama sekali tidak merasakan hal yang sama
terhadapnya. Tentu saja jika aku menolak, bisa jadi ia akan kecewa dan tak
seceria ini lagi.
“Aku enggak setampan cowok-cowok lain, bahkan aku
juga enggak sekeren anak-anak basket yang selalu di puja-puja para cewek.
Bukannya merendah, tapi aku memikirkan kamu yang akan disangka aneh jika pacaraan
sama aku,” ujarku berusaha membuatnya berubah pikiran.
“Aku enggak peduli, kamu jauh lebih keren
dibanding mereka. Kamu berkharisma dan cerdas. Satu lagi, dan tentunya
membuatku penasaran. Habisnya kamu misterius banget, sih, ngomong aja ala
kadarnya.”
“Hehehe…, aku memang enggak banyak bicara, Han.
Tapi kalau memang kamu yakin sama aku, baiklah aku mau jadi pacarmu. Semoga
betah,” ujarku merendahkan diri.
“Wah! Serius, nih? Aaaa… asiiiik, makasih, Will.
I love you..!” pekiknya kegirangan.
“Hehehe…,” aku hanya bisa tersenyum melihat wajah
cerianya. Bagaimana bisa aku menghancurkan harapan gadis baik ini. Akh!
Saat
kelas pertama usai, Randi menghampiriku yang tengah asik membaca buku.
“Jujur nih, ya. Gue perhatiin akhir-akhir ini
kayaknya lo sakit, deh,” ujarnya tiba-tiba.
“Maksud lo apa? Gue baik-baik aja, tuh,” jawabku
datar.
“Beberapa hari ini gue sering liat lo
senyum-senyum trus ketawa-ketawa sendiri kayak orang gila diparkiran. Kalau ada
beban, cerita dong ke gue. Jangan bertingkah aneh seperti itu.”
“Lo yang aneh, datang-datang langsung ngatain
gue gila. Orang gue ketawa bareng Hanika,”
kataku membela diri.
“Tuh, kan, makin gila. Siapee lagi tuh si Hanika?
Jelas-jelas gue liat lo tiap hari di sono sendirian. Setiap hari selalu gitu.
Gue baru berani negur lo sekarang biar lo sadar, Bro.”
Aku menutup buku lalu menatap Randi yang duduk di
mejaku. “Gue yang gila apa lo, sih? Jelas-jelas tiap pagi tuh si Hanika bareng
gue di parkiran. Mata lo bermasalah tu. Sana ngukur kacamata!” kataku mulai
kesal.
“Terserah lo, deh. Gue cuma prihatin sama lo,
Wil. Sakit lo, Men”, kata Randi beranjak dari meja.
Aku
memikirkan lagi ucapan Randi barusan. Aku menganggap Randi sedang stress pasca
perceraian orang tuanya. Ia memang banyak bertingkah aneh dan cara bicaranya
ceplas-ceplos. Mumpung istirahat, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi
Hanika, gadis yang baru saja menjadi pacarku meskipun aku sama sekali tidak
mencintainya.
“Eh, maaf mo tanya, nih. Hanika ada di kelas?”
tanyaku pada salah seorang teman kelas Hanika.
“Hanika? Disini enggak ada siswi yang namanya
Hanika. Salah kelas kali,” jawabnya.
Aku melihat papan nama kelas di atas pintu dan
benar ini adalah kelas yang diberitahu Hanika tempo hari. “Serius, nih? Aku ada
perlu nih sama dia, tolong panggilin bentar yah,” pintaku
“Seriuuuus! Disini enggak ada yang namanya
Hanika. Dibilangin enggak percaya, ih,” kata orang itu lalu masuk kelas dengan
wajah kesal.
“Hanika bohong?” gumamku dalam hati yang penuh
rasa kecewa.
“Nak, cari Hanika? Enggak salah?” tiba-tiba saja
Pak Hasan, seorang penjaga sekolah sudah berdiri di belakangku.
“Maksud bapak? Memangnya ada yang salah?”
selidikku penasaran.
Pak Hasan lalu mengajakku duduk
dan mengobrol. Ia menceritakan bahwa Hanika itu adalah arwah penasaran yang
menghuni sekolah ini. Dulu ia adalah salah satu siswi di sekolah ini dan
menempati kelas XI IPA 5. Namun, ia dikabarkan telah meninggal dunia akibat
menggantung dirinya pada pohon yang berada di halaman belakang sekolah yang
memang sangat sepi. Seorang sahabatnya yang dimintai keterangan mengatakan
bahwa Hanika depresi karena tak bisa menikmati masa remajanya dengan leluasa.
Ia dikekang oleh kedua orang tuanya, bahkan untuk mendatangkan teman cowok di
rumahnya untuk belajar bersama saja tidak diperbolehkan. Ia akan dipukul oleh
ayahnya jika kedapatan diantar oleh seorang teman cowoknya. Ia mempunyai
keinginan untuk merasakan pacaran dengan seorang cowok yang ia sukai, tapi
rupanya semua cowok di sekolah ini sudah
tahu seperti apa ayah Hanika dan tidak satupun dari mereka yang berani menjalin
hubungan dengannya. Saking depresinya akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan
cara seperti itu.
Usai mendengar cerita Pak
Hasan, aku merasa shock. Aku belum
percaya atas apa yang aku dengar. “Setiap hari dia selalu datang ke saya, Pak.
Saya enggak tahu kalau ternyata Hanika…,” aku tak dapat melanjutkan ucapanku.
“Benarkah? Wajarlah, dia masih penasaran karena
ingin mempunyai pacar. Kasihan juga dengan anak itu. Tapi berdoa saja agar
arwahnya bisa tenang dan tidak gentayangan lagi,” kata Pak Hasan bijak.
Keesokan
harinya, tak nampak Hanika yang selalu menghampiriku saat memarkir sepeda
motor. Aku langsung saja masuk kelas dan mendapati secarik kertas tergeletak di
atas meja. Di atasnya tertuliskan sesuatu, “Wildan, karena kamu, aku bisa
tenang sekarang. Aku tidak bisa lagi menyambutmu di parkiran setiap pagi.
Terima kasih telah menerima cintaku. Hanika.”
Hatiku merasa tak karuan dan cepat-cepat
menyimpan kertas itu ke dalam tas. Sebuah sosok perempuan berambut panjang
terlihat tengah tersenyum dari balik jendela kelas.
“Aku akan merindukanmu, Hanika,” gumamku dengan mata berkaca-kaca.
No comments:
Post a Comment