Berdiri di depan sebuah gedung tua
yang terlihat masih kokoh. Kembali terlintas di benakku akan keramaian tempat
ini sewaktu aku masih menjadi salah satu siswa di dalamnya. Entah apa yang
membuatku merasa ingin kembali ke tempat ini. Apakah ada sesuatu yang
terlupakan di masa lalu? entahlah, menurutku ini sangat lucu. Dahulu aku tidak
pernah menginginkan untuk bergabung di sekolah yang menurutku banyak aturan
ini. Segala macam cara kucoba agar bisa keluar atau bahkan dikeluarkan dari
sini. Namun usahaku hanya sia-sia belaka.
Aku menyusuri koridor yang
lantainya penuh dengan dedaunan kering. Kulihat bekas-bekas coretan entah apa
maknanya terpampang di pintu. Hasil perbuatan anak sekolah. Mungkin ini adalah
salah satu cara mereka memperlihatkan betapa kreatifnya mereka. Aku rasa
begitu. hmm.
Mataku tertuju pada kelas yang
dahulu merupakan tempat praktek kelakuan anehku menurut orang-orang. Aku
menyunggingkan senyum saat masuk ke dalam. Sungguh tak ada perubahan. kelas ini
masih tampak elit seperti dahulu. Hanya saja sekarang dipenuhi oleh sarang
laba-laba dan debu. Aku terus mengamati keadaan sekitar.
Aku kembali mengingat
perbuatan-perbuatanku di masa lalu saat masih bersekolah di sini. Aku memang
betul-betul tak menginginkan di sini, dan karena paksaan dari pihak keluarga
itulah akhirnya aku mengalah dan menuruti kemauan mereka. Di sini aku di
kucilkan oleh teman-teman. Tak seorang pun yang ingin berteman denganku. Alasan
mereka adalah karena aku nakal. Yah, aku akui itu. Sengaja aku lakukan agar
mendapat perhatian semua pihak di sekolah ini. Aku bahkan pernah menampar
bahkan memukuli salah seorang guruku. jujur, bukan aku yang salah. Namun karena
imageku sebagai pembuat masalah sudah sangat kuat melekat akhirnya aku pun yang
disalahkan. Selama 2 pekan aku tak boleh menngikuti pelajaran.
Orang tuaku sangat shock
mendengar kabar itu dan mengurungku di rumah. Semakin tertekan dan depresi
rasanya ketika mendengar mereka bertengkar hebat menyalahkan satu sama lain. Dua
pekan pun berlalu, aku kembali bersekolah dan seperti biasa, sapaan tak
mengenakkan pun langsung menyambutku mulai dari gerbang hingga ke kelas. Aku
sudah terbiasa dengan hal itu namun tanganku serasa gatal untuk menghantam
perut salah satu dari mereka. Hari pertama masuk sekolah diwarnai oleh aksi
seperti ini. Anak itu tak puas juga, dia memanggil segerombolan pasukannya
untuk mengeroyokku. Untungnya aku sedikit tau ilmu-ilmu bela diri dan satu per
satu dari mereka pun terkapar di lantai dengan luka yang beraneka ragam.
Duduk di hadapan kepala sekolah
seperti saat ini sudah tidak asing lagi bagiku. Pertanyaan demi pertanyaan
dilayangkan padaku dan aku hanya bisa menjawabnya dengan jujur sesuai apa yang
telah terjadi. Namun tampaknya wanita setengah baya di depanku ini tak juga
percaya dan hanya memberiku surat panggilan untuk orang tuaku. Entah ini surat
yang keberapa.
"memalukan. anak macam apa kau ini. apa kau sudah
gila? apa belum puas mempermalukan kami,hah??" itu terdengar seperti
nyanyian di telingaku. Tentu saja dari kedua orang tuaku. Tak pernah kurespon
dengan kata-kata. Aku hanya menatap mata mereka dan lari ke kamar.bahkan selama
perjalanan ke kamar pun mereka masih memperdengarkanku nyanyian kebangsaan
mereka. Memuakkan.
Aku telah menginjak usia 15
tahun dan duduk di bangku SMP kelas IX. Dari sekian banyak siswa perempuan di
kelas baru ini, hanya aku yang terlihat banyak luka di tubuhnya. Luka apa lagi
kalau bukan luka bekas bertarung melawan mereka yang menggangguku.Lagi-lagi
tatapan sinis disuguhkan untukku.
Aku duduk di bangku paling
belakang dan di antara dua orang siswa laki-laki. Saat pelajaran dimulai, aksi
mereka membuyarkan konsentrasiku. Mereka menyalakan sebatang rokok. Mereka
menghembuskan asapnya tepat di wajahku. 'kurang ajar" gumamku.
Satu-dua kali aku tak peduli. Aku
hanya menahan nafas. namun ini sudah keberapa kalinya. Aku geram. Ku pelototi
mata mereka bergantian dan mereka hanya menertawakanku sambil mencolek pipiku
dan yang satunya memegang pundakku. Tak tahan lagi, kuraih kedua kepala makhluk
itu lalu kebanting di atas meja. Alhasil semua mata tertuju pada kami. Aku tak
peduli dengan tatapan mereka, aku meneruskan aksiku dengan memukuli kedua
makhluk itu. Kembali aku harus berhadapan dengan kepala sekolah dan tentunya
surat panggilan untuk orang tuaku.
Suatu hari saat asik duduk di
halaman belakang sekolah sambil meneguk minuman yang kubeli dari kantin, sebuah
jeritan anak perempuan terdengar samar-samar. Kuikuti asal suara itu. Bukan
main terkejutnya aku saat mendapati seorang gadis berseragam sekolah yang sama
dan 3 laki-laki entah dari mana asalnya tengah berusaha menodai gadis itu.
Sungguh malang. Tanpa berpikir panjang kuhantam kepala mereka dengan batu yang kupegang.
Mereka pun berbalik dan terlihat marah padaku karena aksi biadab mereka gagal.
Aku meneriaki gadis tadi agar segera lari, namun ia tak juga beranjak dari
tempatnya. Kasihan.
Seorang gadis 15 tahun melawan
tiga orang pemuda aku rasa bisa-bisa saja. Dengan bermodalkan kemampuan bela
diri, mereka berhasil ku buat babak belur. Namun tanpa di sangka ternyata mereka
bisa bangkit dan menangkapku. Tanpa belas kasih mereka memukulku hingga
bersimbah darah tanpa melihat bahwa mereka sedang menyeroyok seorang gadis SMP.
Tak puas dengan pukulan, sebuah pisau dikeluarkan dari sakunya. Aku bergetar
bukan main. Aku berusaha lepas dari pegangan mereka. Aku meronta-ronta dan
menendang lak-laki yang memegang pisau itu. “lepaskan! Mau apa kau brengsek!”
teriakku kencang. Dan akhirnya pisau itu digorekan ke wajahku. Rasanya perih
sekali. Setelah itu mereka pun segera lari setelah gadis tadi berteriak
histeris meminta tolong. Aku tersungkur dengan wajah berdarah. Gadis tadi
menghampiriku dan mengusap wajahku dengan tisu. Baru pertama kali aku
mendapatkan kebaikan dari seseorang. Inikah rasanya mempunyai teman? “akh,
perih” jeritku pelan saat gadis itu mengusap darah di wajahku.
“aku rui. Kamu?” aku mengulurkan tanganku. “yuna”
jawabnya. “maaf, kau terluka seperti ini”“biasa, aku sudah terbiasa dilukai seperti ini kok” aku tersenyum melihat wajah polosnya. Aku pikir dia bisa jadi sahabatku.
Sejak saat itu kami berdua
menjadi sahabat. Tugasku adalah menjaganya karena aku tau dia gadis yang begitu
lemah. Aku baru sadar ternyata ada orang sebaik dan sepeduli dia di sekolah
ini. Ditengah pertemanan kami yang sudah seperti saudara itu, sebuah musibah
menimpaku. Aku dan keluargaku dibunuh secara sadis oleh sekelompok perampok. Karena
mereka aku tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki imageku di sekolah dan
di depan orang-orang yang membenciku. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dan aku
pun harus meninggalkan sahabat yang begitu kusayangi. Mungkin selama kehidupan
berlangsung, aku belum diberi kesempatan untuk merasakan persahabatan lebih
lama. Selamat tinggal Yuna. Sampai jumap di surga.
Waktu sangat terbatas. Sebentar
lagi matahari akan terbenam. Aku beranjak dari bangku Yuna yang ku duduki
menuju secercah sinar yang menantiku di depan sana. Di sanalah aku sekarang, menanti
Yuna sahabatku hingga agar bisa bermain bersama.