Sunday, 15 April 2012

Kembali


Berdiri di depan sebuah gedung tua yang terlihat masih kokoh. Kembali terlintas di benakku akan keramaian tempat ini sewaktu aku masih menjadi salah satu siswa di dalamnya. Entah apa yang membuatku merasa ingin kembali ke tempat ini. Apakah ada sesuatu yang terlupakan di masa lalu? entahlah, menurutku ini sangat lucu. Dahulu aku tidak pernah menginginkan untuk bergabung di sekolah yang menurutku banyak aturan ini. Segala macam cara kucoba agar bisa keluar atau bahkan dikeluarkan dari sini. Namun usahaku hanya sia-sia belaka.
Aku menyusuri koridor yang lantainya penuh dengan dedaunan kering. Kulihat bekas-bekas coretan entah apa maknanya terpampang di pintu. Hasil perbuatan anak sekolah. Mungkin ini adalah salah satu cara mereka memperlihatkan betapa kreatifnya mereka. Aku rasa begitu. hmm.
Mataku tertuju pada kelas yang dahulu merupakan tempat praktek kelakuan anehku menurut orang-orang. Aku menyunggingkan senyum saat masuk ke dalam. Sungguh tak ada perubahan. kelas ini masih tampak elit seperti dahulu. Hanya saja sekarang dipenuhi oleh sarang laba-laba dan debu. Aku terus mengamati keadaan sekitar.
        Aku kembali mengingat perbuatan-perbuatanku di masa lalu saat masih bersekolah di sini. Aku memang betul-betul tak menginginkan di sini, dan karena paksaan dari pihak keluarga itulah akhirnya aku mengalah dan menuruti kemauan mereka. Di sini aku di kucilkan oleh teman-teman. Tak seorang pun yang ingin berteman denganku. Alasan  mereka adalah karena aku nakal. Yah, aku akui itu. Sengaja aku lakukan agar mendapat perhatian semua pihak di sekolah ini. Aku bahkan pernah menampar bahkan memukuli salah seorang guruku. jujur, bukan aku yang salah. Namun karena imageku sebagai pembuat masalah sudah sangat kuat melekat akhirnya aku pun yang disalahkan. Selama 2 pekan aku tak boleh menngikuti pelajaran.
Orang tuaku sangat shock mendengar kabar itu dan mengurungku di rumah. Semakin tertekan dan depresi rasanya ketika mendengar mereka bertengkar hebat menyalahkan satu sama lain. Dua pekan pun berlalu, aku kembali bersekolah dan seperti biasa, sapaan tak mengenakkan pun langsung menyambutku mulai dari gerbang hingga ke kelas. Aku sudah terbiasa dengan hal itu namun tanganku serasa gatal untuk menghantam perut salah satu dari mereka. Hari pertama masuk sekolah diwarnai oleh aksi seperti ini. Anak itu tak puas juga, dia memanggil segerombolan pasukannya untuk mengeroyokku. Untungnya aku sedikit tau ilmu-ilmu bela diri dan satu per satu dari mereka pun terkapar di lantai dengan luka yang beraneka ragam. 
Duduk di hadapan kepala sekolah seperti saat ini sudah tidak asing lagi bagiku. Pertanyaan demi pertanyaan dilayangkan padaku dan aku hanya bisa menjawabnya dengan jujur sesuai apa yang telah terjadi. Namun tampaknya wanita setengah baya di depanku ini tak juga percaya dan hanya memberiku surat panggilan untuk orang tuaku. Entah ini surat yang keberapa.
"memalukan. anak macam apa kau ini. apa kau sudah gila? apa belum puas mempermalukan kami,hah??" itu terdengar seperti nyanyian di telingaku. Tentu saja dari kedua orang tuaku. Tak pernah kurespon dengan kata-kata. Aku hanya menatap mata mereka dan lari ke kamar.bahkan selama perjalanan ke kamar pun mereka masih memperdengarkanku nyanyian kebangsaan mereka. Memuakkan.
Aku telah menginjak usia 15 tahun dan duduk di bangku SMP kelas IX. Dari sekian banyak siswa perempuan di kelas baru ini, hanya aku yang terlihat banyak luka di tubuhnya. Luka apa lagi kalau bukan luka bekas bertarung melawan mereka yang menggangguku.Lagi-lagi tatapan sinis disuguhkan untukku. 
Aku duduk di bangku paling belakang dan di antara dua orang siswa laki-laki. Saat pelajaran dimulai, aksi mereka membuyarkan konsentrasiku. Mereka menyalakan sebatang rokok. Mereka menghembuskan asapnya tepat di wajahku. 'kurang ajar" gumamku.
Satu-dua kali aku tak peduli. Aku hanya menahan nafas. namun ini sudah keberapa kalinya. Aku geram. Ku pelototi mata mereka bergantian dan mereka hanya menertawakanku sambil mencolek pipiku dan yang satunya memegang pundakku. Tak tahan lagi, kuraih kedua kepala makhluk itu lalu kebanting di atas meja. Alhasil semua mata tertuju pada kami. Aku tak peduli dengan tatapan mereka, aku meneruskan aksiku dengan memukuli kedua makhluk itu. Kembali aku harus berhadapan dengan kepala sekolah dan tentunya surat panggilan untuk orang tuaku.
Suatu hari saat asik duduk di halaman belakang sekolah sambil meneguk minuman yang kubeli dari kantin, sebuah jeritan anak perempuan terdengar samar-samar. Kuikuti asal suara itu. Bukan main terkejutnya aku saat mendapati seorang gadis berseragam sekolah yang sama dan 3 laki-laki entah dari mana asalnya tengah berusaha menodai gadis itu. Sungguh malang. Tanpa berpikir panjang kuhantam kepala mereka dengan batu yang kupegang. Mereka pun berbalik dan terlihat marah padaku karena aksi biadab mereka gagal. Aku meneriaki gadis tadi agar segera lari, namun ia tak juga beranjak dari tempatnya. Kasihan.
Seorang gadis 15 tahun melawan tiga orang pemuda aku rasa bisa-bisa saja. Dengan bermodalkan kemampuan bela diri, mereka berhasil ku buat babak belur. Namun tanpa di sangka ternyata mereka bisa bangkit dan menangkapku. Tanpa belas kasih mereka memukulku hingga bersimbah darah tanpa melihat bahwa mereka sedang menyeroyok seorang gadis SMP. Tak puas dengan pukulan, sebuah pisau dikeluarkan dari sakunya. Aku bergetar bukan main. Aku berusaha lepas dari pegangan mereka. Aku meronta-ronta dan menendang lak-laki yang memegang pisau itu. “lepaskan! Mau apa kau brengsek!” teriakku kencang. Dan akhirnya pisau itu digorekan ke wajahku. Rasanya perih sekali. Setelah itu mereka pun segera lari setelah gadis tadi berteriak histeris meminta tolong. Aku tersungkur dengan wajah berdarah. Gadis tadi menghampiriku dan mengusap wajahku dengan tisu. Baru pertama kali aku mendapatkan kebaikan dari seseorang. Inikah rasanya mempunyai teman? “akh, perih” jeritku pelan saat gadis itu mengusap darah di wajahku.
“aku rui. Kamu?” aku mengulurkan tanganku. “yuna” jawabnya. “maaf, kau terluka seperti ini”
“biasa, aku sudah terbiasa dilukai seperti ini kok” aku tersenyum melihat wajah polosnya. Aku pikir dia bisa jadi sahabatku.

Sejak saat itu kami berdua menjadi sahabat. Tugasku adalah menjaganya karena aku tau dia gadis yang begitu lemah. Aku baru sadar ternyata ada orang sebaik dan sepeduli dia di sekolah ini. Ditengah pertemanan kami yang sudah seperti saudara itu, sebuah musibah menimpaku. Aku dan keluargaku dibunuh secara sadis oleh sekelompok perampok. Karena mereka aku tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki imageku di sekolah dan di depan orang-orang yang membenciku. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki. Dan aku pun harus meninggalkan sahabat yang begitu kusayangi. Mungkin selama kehidupan berlangsung, aku belum diberi kesempatan untuk merasakan persahabatan lebih lama. Selamat tinggal Yuna. Sampai jumap di surga.
Waktu sangat terbatas. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Aku beranjak dari bangku Yuna yang ku duduki menuju secercah sinar yang menantiku di depan sana. Di sanalah aku sekarang, menanti Yuna sahabatku hingga agar bisa bermain bersama.

No comments:

Post a Comment