Berawal dari keisenganku saat
perjalanan pulang dari kampung halaman dimana ayahku dilahirkan. Saat itu aku
masih berumur 7 tahun, masih berwujud gadis kecil polos yang belum banyak tahu
apapun. Dalam perjalanan yang gembira itu, aku duduk di pinggir, sebelah kiri
kaca mobil. Kanan dan kiri hanyalah hutan belantara setelah kami melewati
persawahan yang luas. Aku melambai-lambaikan tangan pada pepohonan di luar kaca
sambil berseru “hai hai hai”. Kakak menegurku karena ia rasa itu mengganggunya,
namun aku tetap melanjutkannya sambil membuka kaca mobil dengan lebar. Aku
mengeluarkan kepalaku sedikit agar bisa melihat ke luar dengan leluasa. Karena
ibu tengah tertidur, sedangkan Ayah tetap konsentrasi dengan menyetir mobil,
sementara kedua kakakku asyik bermain dengan handphone mereka masing-masing,
akhirnya mereka tidak mengetahui bahwa aku jatuh dan terlindas mobil ayahku
sendiri. Mereka baru menyadari setelah kakak perempuanku menjerit histeris karena melihatku sudah tidak ada di
sampingnya. Seluruh keluargaku turun setelah ayah menghentikan laju
kendaraannya dan menyaksikan aku sudah terbaring menggenaskan di tanah dengan
berlumuran darah.
***
“kakak..kakak..main ayo maiiin”
jeritku saat kakak perempuanku sedang sibuk sendiri dengan gadget barunya.
Tangisku kemudian pecah karena tak dipedulikan olehnya. Karena tangisku itu,
kakak pun marah dan mencubitku dengan kasar. Ayah yang saat itu tengah sibuk
mengutak atik laptopnya pun merasa terganggu dan menghampiri kami. Kakak
dihukum sedangkan aku digendong ayah. Melihat itu, kakak menjadi semakin kesal
padaku. Usia kakak 12 tahun sedangkan aku 7 tahun, terpaut jauh 5 tahun. Setiap
hari aku diantar ke sekolah oleh kakak laki-lakiku yang berusia 16 tahun. Ia
sangat baik padaku walaupun aku sedang menangis, ia tidak pernah merasa
terganggu. Suatu hari ketika aku ditinggal berdua oleh kakak perempuanku, aku
dikurung di kamar mandi seharian hingga aku lemas kedinginan dan kelaparan.
Entah apa salahku, mungkin ia tidak ingin terganggu akan kehadiranku. Karena perbuatannya,
aku sampai dirawat di rumah sakit. Ia dihukum oleh ibu dan ayah. Kali ini ia
dihukum sangat berat, handphone dan alat elektronik canggih yang ia miliki
seluruhnya disita. Bukan main marahnya ia padaku. Aku menangis lagi
membayangkan ia dihukum karena aku. Karena kehadiranku ia jdi menderita.
***
Aku sudah tiada sejak peristiwa
di tengah perjalanan pulang itu. Aku tidak marah, aku hanya ingin membuatnya
mengakui kehadiranku. “Aku menyesal, bu, yah. Aku minta maaf, aku benar-benar
khilaf melakukan itu” kakak menangis sejadi-jadinya di hadapan ibu, ayah dan
kakak laki-lakiku. Ia mengakui bahwa dialah yang mendorongku secara diam-diam
saat aku mengeluarkan sebagian tubuhku di kaca mobil. “kamu benar-benar
keterlaluan. Anak tidak tahu diri kamu!!” ayah murka dan mencoba mendaratkan
telapak tangannya di pipi kakak tetapi gagal karena dicegah oleh kakak
laki-lakiku. “ibu benar-benar tidak habis pikir kamu berbuat sekeji itu pada
adikmu. Apa salah dia, hahh? Dia masih kecil dan tak tahu apa-apa. Seharusnya
kamu melindungi dia, bukannya membuat dia..akrhhh” ibu membentak kakak sambil
bersandar di dinding dengan lemas. Ibu mencium seragam sekolahku yang setiap
hari aku pakai. Ia menangis sepertiku.
***
Aku selalu ada, di samping kakak.
Aku menangis, selalu menangis di sampingnya. Ia menjadi seperti orang gila dan
sering menjerit histeris di kamar. “pergiiiii..jangan ganggu aku!! Aku benci
tangisanmu! PERGIIII!!!” teriak kakak sambil melempar apa saja yang ia pegang.
Aku menangis lagi, menangis. Aku tidak mengganggunya, aku hanya ingin ia
mengakui keberadaanku sebagai adik kecilnya. “kakak...ayo maiiin”
nilah salah satu naq pare yang kreatif.... kebetulan saya juga tho' pare..
ReplyDeletevisit balik yaa di blog saya :)
billi-downloads.blogspot.com
wah maaf, balasnya lama.
Deleteterima kasih, kak. hoo orang pare juga ternyata :)
iya