Monday 10 June 2013

Rintik Tangis



Berawal dari keisenganku saat perjalanan pulang dari kampung halaman dimana ayahku dilahirkan. Saat itu aku masih berumur 7 tahun, masih berwujud gadis kecil polos yang belum banyak tahu apapun. Dalam perjalanan yang gembira itu, aku duduk di pinggir, sebelah kiri kaca mobil. Kanan dan kiri hanyalah hutan belantara setelah kami melewati persawahan yang luas. Aku melambai-lambaikan tangan pada pepohonan di luar kaca sambil berseru “hai hai hai”. Kakak menegurku karena ia rasa itu mengganggunya, namun aku tetap melanjutkannya sambil membuka kaca mobil dengan lebar. Aku mengeluarkan kepalaku sedikit agar bisa melihat ke luar dengan leluasa. Karena ibu tengah tertidur, sedangkan Ayah tetap konsentrasi dengan menyetir mobil, sementara kedua kakakku asyik bermain dengan handphone mereka masing-masing, akhirnya mereka tidak mengetahui bahwa aku jatuh dan terlindas mobil ayahku sendiri. Mereka baru menyadari setelah kakak perempuanku menjerit  histeris karena melihatku sudah tidak ada di sampingnya. Seluruh keluargaku turun setelah ayah menghentikan laju kendaraannya dan menyaksikan aku sudah terbaring menggenaskan di tanah dengan berlumuran darah. 

***
“kakak..kakak..main ayo maiiin” jeritku saat kakak perempuanku sedang sibuk sendiri dengan gadget barunya. Tangisku kemudian pecah karena tak dipedulikan olehnya. Karena tangisku itu, kakak pun marah dan mencubitku dengan kasar. Ayah yang saat itu tengah sibuk mengutak atik laptopnya pun merasa terganggu dan menghampiri kami. Kakak dihukum sedangkan aku digendong ayah. Melihat itu, kakak menjadi semakin kesal padaku. Usia kakak 12 tahun sedangkan aku 7 tahun, terpaut jauh 5 tahun. Setiap hari aku diantar ke sekolah oleh kakak laki-lakiku yang berusia 16 tahun. Ia sangat baik padaku walaupun aku sedang menangis, ia tidak pernah merasa terganggu. Suatu hari ketika aku ditinggal berdua oleh kakak perempuanku, aku dikurung di kamar mandi seharian hingga aku lemas kedinginan dan kelaparan. Entah apa salahku, mungkin ia tidak ingin  terganggu akan kehadiranku. Karena perbuatannya, aku sampai dirawat di rumah sakit. Ia dihukum oleh ibu dan ayah. Kali ini ia dihukum sangat berat, handphone dan alat elektronik canggih yang ia miliki seluruhnya disita. Bukan main marahnya ia padaku. Aku menangis lagi membayangkan ia dihukum karena aku. Karena kehadiranku ia jdi menderita.

***
Aku sudah tiada sejak peristiwa di tengah perjalanan pulang itu. Aku tidak marah, aku hanya ingin membuatnya mengakui kehadiranku. “Aku menyesal, bu, yah. Aku minta maaf, aku benar-benar khilaf melakukan itu” kakak menangis sejadi-jadinya di hadapan ibu, ayah dan kakak laki-lakiku. Ia mengakui bahwa dialah yang mendorongku secara diam-diam saat aku mengeluarkan sebagian tubuhku di kaca mobil. “kamu benar-benar keterlaluan. Anak tidak tahu diri kamu!!” ayah murka dan mencoba mendaratkan telapak tangannya di pipi kakak tetapi gagal karena dicegah oleh kakak laki-lakiku. “ibu benar-benar tidak habis pikir kamu berbuat sekeji itu pada adikmu. Apa salah dia, hahh? Dia masih kecil dan tak tahu apa-apa. Seharusnya kamu melindungi dia, bukannya membuat dia..akrhhh” ibu membentak kakak sambil bersandar di dinding dengan lemas. Ibu mencium seragam sekolahku yang setiap hari aku pakai. Ia menangis sepertiku.

***
Aku selalu ada, di samping kakak. Aku menangis, selalu menangis di sampingnya. Ia menjadi seperti orang gila dan sering menjerit histeris di kamar. “pergiiiii..jangan ganggu aku!! Aku benci tangisanmu! PERGIIII!!!” teriak kakak sambil melempar apa saja yang ia pegang. Aku menangis lagi, menangis. Aku tidak mengganggunya, aku hanya ingin ia mengakui keberadaanku sebagai adik kecilnya. “kakak...ayo maiiin”

2 comments:

  1. nilah salah satu naq pare yang kreatif.... kebetulan saya juga tho' pare..

    visit balik yaa di blog saya :)

    billi-downloads.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah maaf, balasnya lama.
      terima kasih, kak. hoo orang pare juga ternyata :)
      iya

      Delete